Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Cadar
Source: https://www.tagar.id/

Negara dan agama, agaknya menjadi dualitas krusial dalam pembentukan upaya politisasi cara hidup masyarakat dalam satu lingkup kepemerintahan. Relasi kuasa antar-stakeholders nyatanya memegang kunci terhadap pengendalian beragama tiap kelompok yang ada. Bagaimana individu berperilaku dan bertindak telah terpolitisasi secara struktur di bawah suatu kekuasaan. Memang, aturan tidak selalu dilegitimasi keabsahannya melalui regulasi hukum negara, tetapi ihwal tersebut umumnya terlegitimasi secara sosial—sehingga secara otomatis menjadi hukum sosial-moralis yang terus berkembang dan langgeng dalam satu internal komunitas, memberikan batasan inklusif dan eksklusif[1].

Agama tak ubahnya sebagai subjek kontestasi yang patut dikritisi dalam diskursus akademik, yang lebih luas dari sekadar belajar teologi. Semua agama di dunia memiliki doktrin aturannya masing-masing, termasuk Islam. Dalam konteks ulasan kali ini, saya ingin mengajak pembaca memikirkan kembali dan memperluas horizon dalam memaknai hijab lebih dari sekadar perintah teologis atas apa yang tertera dalam ayat Al-Qur’an. Dunia agama terlalu dipolitisasi oleh berbagai pemangku kepentingan, sehingga melahirkan multi-definisi akan hijab itu sendiri. Bagaimana ihwal tersebut dimaknai oleh mayoritas perempuan, berdasarkan literatur yang ada? Bagaimana doktrin agama tersebut dilanggengkan secara politik, dan siapa saja aktor penyetirnya? Lantas, bagaimana perdebatan ini direlasikan terhadap berbagai implikasi kompleks yang timbul dalam kehidupan sosial masyarakat—khususnya perempuan? Akhir dari inti jawaban tepat atas keseluruhan pertanyaan tersebut tak lain kembali mengerucut pada sebuah pertanyaan kunci—untuk apa hijab itu bagi sebagian perempuan muslim—yang seharusnya memiliki beragam jawaban, tetapi terpaksa diseragamkan oleh doktrin pemilik kuasa.

Agama, Kebebasan, Keterbatasan, dan Relasi Kuasa

“Sister, guard your hijab!”—Saper, 2018:67.

Berbicara ihwal agama, kebebasan, dan keterbatasan, sudah barang tentu membicarakan pula relasi kuasa yang menungganginya. Ya, hidup itu selalu tentang kuasa—siapa menguasai apa dan yang mana. Terlebih pada zaman digital saat ini, segala pengaruh yang disebarluaskan oleh media berakibat pada langgengnya doktrin keagamaan dalam satu kelompok masyarakat. Media bertanggung jawab penuh atas peredaran berbagai propaganda yang muncul. Schwoch, White, dan Reilly (1992)[2] mengingatkan kita bahwa suatu rangkaian gambar tertentu—yang disebarkan oleh media—mampu menghasilkan beragam makna proaktif maupun kontradiktif. Apabila kita telusur lebih dalam, tujuan presentasi gambar tersebut tidak hanya sebagai upaya representatif, tetapi juga mengajak kita—pembaca sekaligus konsumen—untuk berbagi “imajiner sosial” akan ihwal tertentu (Castoriadis, 1987)[3], yang dalam hal ini ialah pemaknaan atas agama dan segala aturannya.

“The Muslim woman is spoken for, not spoken to; imposed upon, invaded, dissected; rarely treated as an autonomous human being whose freedom deserves to be understood on their own terms. When Muslim women are spoken of in the media, they are empty caricatures or victims suffering under the patriarchal control of their father and brothers” (Olufemi, 2020:67).

Apakah hanya media yang berkuasa? Jelas tidak, di balik media masih terdapat banyak stakeholders lain yang sangat patriarkis dalam praktiknya, sehingga perempuan-perempuan ini hanya dapat dirugikan. Objektifikasi terhadap tubuh perempuan dan bagaimana rupa penutupnya pun turut dipolitisasi oleh para kuasa melalui teks agama dan moral, tidak lain ialah hijab sebagai indikator wacana keislaman dalam ‘adab’ berpakaian. Sebagai contoh kita dapat mengambilnya dari gerakan swadeshi yang diperkenalkan oleh Mahatma Gandhi[4]. Swadeshi ini turut mengatur cara berpakaian perempuan. Pemerintah mengatur bagaimana cara berpakaian perempuan dengan cara-cara tertentu untuk membedakan middle-class dan upper-case. Pembatasan dan pengaturan bagaimana seharusnya perempuan berpakaian ini merupakan wujud dari kontrol keterlibatan perempuan dalam ruang publik dan politik.

Perempuan-perempuan Islam ini dituntut untuk mengenakan kain penutup rambut dengan berbagai teori keislaman, yang sebenarnya berasal dari para pemimpin Islamis laki-laki—bahwa hijab itu sangat penting bagi strategi keseluruhan mereka dalam menyebarkan Islamisme[5]. Bagaimana perempuan berpakaian itu sudah diatur oleh para pemilik kuasa. Kebanyakan diktator Islam menganggap bahwa yang membedakan perempuan muslim dengan mereka yang berada di barat itu melalui pakaiannya, seorang perempuan muslim itu hanya berpakaian sederhana. Penguasa patriarkal ini juga mengharapkan bahwa apa yang dikenakan perempuan itu dapat melambangkan harga diri dan status di mata liyan. Sebanding dengan apa yang disampaikan Bridgwood (1995:48), jika mereka menggunakan pakaian yang tertutup atau berkerudung, mereka terlihat sebagai sebuah simbol tradisi, sedangkan apabila perempuan mengadopsi cara berpakaian barat, mereka akan disebut terperangkap dalam sebuah kesan tunakuasa. Pada akhirnya, agama dibentuk untuk mengajarkan pembentukan bingkai identitas[6], dan hijab disebut sebagai batas simbolis yang sangat fundamental dalam kehidupan sosial-moralis.

Bagaimana perempuan Islam berpakaian, mau menutup rambutnya atau tidak, seharusnya tidak perlu diperdebatkan ulang secara politis, menjadi sangat tidak sopan bagi mereka yang mengandalkan ‘kuasa’ untuk menjustifikasi pakaian perempuan. Hal tersebut justru semakin mempererat intoleransi dan anti-multikulturalisme. Banyak perempuan dipaksa oleh ber-hijab oleh keluarga mereka, terutama dalam pengaturan patriarki[7]. Hijab semakin menjadi upaya paksaan dan subordinasi terhadap perempuan, salah satu praktik pembungkaman perempuan dalam ranah duniawi. Identitas sosial perempuan telah lama dikondisikan oleh persepsi budaya tentang tubuh mereka. Adanya pemaksaan hijab bagi perempuan Islam ini menunjukkan tidak lain adanya praktik politisasi oleh kuasa.

Selain tindak kuasa yang dilakukan oleh peran laki-laki, doktrinisasi ‘adab’ berpakaian wanita atas agamanya pun hadir dari public figure perempuan yang mulai menutup rambutnya. Dalam salah satu artikel[8] menyebutkan bahwa munculnya selebriti ‘hijabi’, seperti Siti Nurhaliza dan Dewi Sandra, turut berimplikasi dalam proses normalisasi penggunaan hijab, sehingga perempuan yang tidak menutup rambutnya kadang-kadang dianggap sebagi ‘kurang muslimah’.

Terlepas dari pembentukan relasi kuasa, penentuan dan pemaksaan hijab sebagai salah satu simbolisme penting untuk mencirikan Islam juga lahir akibat suatu konflik yang cukup menggegerkan dunia dan memunculkan banyak intrik diskriminasi terhadap Islam. Ya, kejadian 9/11, misalnya. Akibatnya ‘re-Islamisasi’ perempuan muslim pun semakin tergambar jelas, sehingga meningkatkan persepsi hijab di kalangan muslim (Haddad, 2007). Banyak Muslim menjalani kebangkitan agama setelah serangan 9/11, mereka berbondong menegaskan agama sebagai identitas yang dinyatakan untuk memperkuat citra diri, mempromosikan citra positif Islam, dan melawan stereotipe dan kesalahpahaman publik yang sedang disebarkan secara ad hominem (Peek, 2005).

Pada akhirnya, hidup seorang perempuan dan bagaimana cara mereka beragama hanya terkonsentrasi dalam satu pola politisasi kuasa. Perempuan tidak memiliki fleksibilitas dalam memilih ingin berupa seperti apa, karena bagaimana mereka berpakaian pun dibatasi oleh wacana nyentrik berkedok ‘agama’.

“If you take uncovered meat and put it on the street... without a cover and the cats eat it, is it the fault of the cat or the uncovered meat? The uncovered meat is the problem.... If the woman is in her boudoir, in her house and if she's wearing the veil and if she shows modesty, disasters don't happen.... Satan tells women, you re my weapon to bring down any stubborn man” (Winter, 2006).

Memotret Kompleksitas Pemaknaan Hijab dalam Lingkup Perempuan Islam

Busana kepala bukanlah simbol dalam Islam saja[9]. Banyak perempuan dan laki-laki Yahudi, serta permpuan Kristen di Timur Tengah, mengenakan berbagai jenis pakaian kepala. Dalam dunia Islam, hal tersebut juga umum bagi laki-laki untuk mengenakan berbagai jenis pakaian kepala. Akan tetapi, perdebatan kontemporer cenderung berfokus pada pertanyaan tentang pakaian kepala untuk perempuan muslim—alias hijab. Istilah hijab memiliki banyak makna yang cenderung membingungkan. Instruksi terkait penggunaan hijab yang tertera dalam Al-Qur’an ini semakin diperumit dengan bumbu-bumbu yang semakin digeneralisasikan.

Premis yang umum beredar dalam menanggapi seruan hijab dalam Islam ini tidak jauh dari wacana ‘untuk melindungi perempuan’. Teorinya, lelaki yang belum mahram akan selalu melihat perempuan, sehingga membutuhkan hijab untuk melindungi tubuhnya dari pandangan tersebut[10]. Saya pikir teori ini sudah sangat tidak masuk akal, hijab dan jenis kain penutup tubuh lainnya tidak cukup untuk mengatasi hasrat seorang manusia. Hasrat tersebut timbul secara alami hasil dari proses biologis dan psikologis manusia itu sendiri, tak adil rasanya perempuan selalu dibatasi hanya untuk kebermanfaatan terhadap laki-laki.

Hijab adalah tanda polisemi yang ditafsirkan secara berbeda oleh pengamat yang berbeda pula[11]. Pembahasan dalam sub-bagian kali ini saya tidak akan mengulas terkait bagaimana hijab itu dipahami sebagai sebuah perintah kepatuhan terhadap agama dan Tuhan-nya—tetapi lebih dari itu. Saya akan mengambil analisis terhadap pandangan-pandangan kontradiktif dalam mendikte makna hijab yang dikhususkan untuk perempuan Islam ini. Bagaimana secara nyata hijab itu mengandung makna simbolik dari bentuk penindasan dan subordinasi terhadap perempuan-perempuan muslim. Kemudian, analisis problematisasi hijab akan saya giring pada ranah proaktif perihal hijab dan pemercayanya. Bagaimana hijab ini ternyata mampu memperkuat identitas, solidaritas, dan keberanian muslim minoritas.

Pernyataan kontra akan penggunaan hijab sebagai perintah dan keharusan bagi perempuan Islam ini lahir dari para feminis barat. Dalam mayoritas wacana barat, mengenakan hijab merupakan bentuk tindak penindasan yang dilakukan oleh laki-laki muslim terhadap perempuan muslim. Penutup kepala ini ditafsirkan sebagai simbol penyerahan perempuan kepada laki-laki patriarkal[12]. Sebagai kiasan dalam wacana barat, perempuan muslim itu adalah “figur bawahan yang menderita penindasan agama” dan kerudungnya merupakan “tanda misteri atau penyerahan dan penindasan” (Martin-Muñoz, 2002). Betapa kejamnya, ketika perempuan berkerudung, mereka sering mendapat godaan para lelaki muda Tunisia karena mereka menafsirkan hijab sebagai tanda bahwa perempuan muda itu tertarik untuk menikah[13]. Mereka juga menganggap bahwa perempuan berkerudung itu lebih baik daripada yang membuka rambutnya. Dalam membaca hijab sebagai penindasan gender, Janice Turner mencontohkan perspektif orientalisnya:

Kepala adalah tempat otak kita, wajah kita, kepribadian kita. Untuk menutupinya di depan umum berarti sublimasi, suatu kebutuhan untuk disembunyikan, diabaikan, dan di-subordinasi dari otoritas laki-laki—dengan mengandalkan kedok ketaatan beragama.” (2008: 4).

Mengoposisi dari kontradiktif terhadap hijab tersebut, nyatanya perempuan-perempuan muslim ini secara sadar banyak yang menganggapnya sebagai Islamic dress for women—simbol yang membatasi antarkelompok. Selain itu, para pendukung juga melihatnya sebagai sebuah hal yang lebih kompleks, berhubungan dengan identitas, tuntutan, dan pernyataan politik (Shakeri, 2000). Kebanyakan perempuan yang ber-hijab menganggap hal tersebut sebagai sebuah perintah dan mereka ingin menunjukkan identitas keislamannya (Ghanea Bassiri, 1997:108-16). Kehadiran hijab yang semakin berkembang ini tak ubahnya merupakan tanda yang menggembirakan bagi para Islamis, karena keberhasilan penyebaran pengaruhnya.

Hijab sebagai simbol agama dan sosial juga terasa begitu penting bagi perempuan muslim yang minoritas. Penutup kepala tersebut memberikan penanda identitas yang jelas dapat merumuskannya sebagai seorang muslim, juga dengan alasan agar ia dapat diterima dan diakui suatu kelompok Islam yang ada di negara non-muslim itu. Kain yang menutupi rambut perempuan itu juga menjadi simbol perlawanan dan penegakan hukum diskriminasi rasial—terutama bagi para migran—sedangkan bagi para mayoritas, hijab bisa menunjukkan kekuasaan bahwa mereka kelompok komunal dalam wilayah tersebut[14].

Droogsma (2007) mencatat bahwa hijab tidak hanya menandakan identitas muslim secara terbatas, tetapi memungkinkan perempuan muslim untuk menegosiasikan perilaku dan interaksi mereka di ruang publik. Hijab dapat digunakan untuk mempromosikan prestise sosial pemakainya, sehingga meningkatkan harga diri mereka (Abdurraqib, 2006); Ali, 2005; Gole, 2003; Rana, 2007; Yakin, 2007). Dengan demikian, perempuan hijabi cenderung memiliki status lebih tinggi di komunitas muslim tersebut.

Lebih dari itu, hijab pun dipahami atas kepemilikan dinamika mode yang tidak dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan oleh motivasi keagamaan ataupun latak belakang sosial, etnis, atau kelas. Berdasarkan literatur yang ditulis oleh … menyerukan bahwa bersama dengan makna religious dan sosialnya, hijab adalah pernyataan mode. Schmidt (20045: 105-10) menyebut hijab sebagai “kode berpakaian informal” di antara umat Islam yang ia temui. Sebagian remaja perempuan bereksperimen dengan gaya hijab-nya yang berbeda-beda, di mana mereka selalu mengikuti dinamika inovasi dan tren dalam berbusana.

Kesimpulan

Di antara para antropolog, studi tentang pakaian secara umum telah dipertimbangkan di bawah rubrik budaya material. Pada awalnya, individu memakai pakaian berdasarkan teori modesty yang juga membedakan antara manusia dengan hewan. Akan tetapi, terpolitisasinya ‘adab’ berpakaian saat ini menyebabkan pakaian tersebut dimaknai secara paradoks. Pakaian tidak hanya digunakan sebagai alasan kesopanan, tetapi lebih pada upaya peningkatan diri. Begitu juga dengan hijab, pemaknaannya secara simbolik semakin menuju ke arah yang lebih kompleks, sebanding dengan perubahan tren dan inovasi dalam berbusana.

Perlu ditekankan bahwa hak atas tubuh perempuan dan kain penutup yang digunakan itu sepenuhnya merupakan kedaulatan setiap perempuan. Tidak seharusnya mereka mendapat pemaksaan dan subordinasi melalui ‘adab’ perempuan yang distigmasi oleh para ‘kuasa’ secara politis. Sudah saatnya perempuan bersama apa yang dipakainya terbebas dari belenggu patriarki—salah satu cara dengan melihat dan memaknai hijab lebih dari sekadar perintah teologis.

Sumber Gambar:




[1] Furseth, Inger (2011) The Hijab: Boundary Work and Identity Negotiations Among Immigrant Muslim Women in The Los Angeles Area. Review of Religious Research 52(4): 365-385.
[2] Schwoch, J., White, M., & Reilly, S. (1992). Media knowledge: Readings in popular culture, pedagogy, and critical citizenship. Albany: SUNY Press. In Todd, Sharon (1998) Veiling the “Other”, Unveiling Our “Selves”: Reading Media Images of the Hijab Psychoanalytically to Move beyond Tolerance. Canadian Journal of Education 23(4): 438-451.
[3] Castoriadis, C. (1987). The imaginary institution of society. Cambridge: MIT Press. In Todd, Sharon (1998) Veiling the “Other”, Unveiling Our “Selves”: Reading Media Images of the Hijab Psychoanalytically to Move beyond Tolerance. Canadian Journal of Education 23(4): 438-451.
[4] Gupta, Charu (2012) ‘Fashioning’ Swadeshi: Clothing Women in Colonial North India. Economic and Political Weekly 47(42): 76-84.
[5] Ahmed, Leila (2011) The 1980s: Exploring Women’s Motivations. In A Quiet Revolution: The Veil’s Resurgence, from the Middle East to America. Leila Ahmed. Pp. 117-130. Connecticut: Yale University Press.
[6] Furseth, Inger (2011) The Hijab: Boundary Work and Identity Negotiations Among Immigrant Muslim Women in The Los Angeles Area. Review of Religious Research 52(4): 365-385.
[7] Noor, Sanam (2007) Hijab Controversy in Europe. Pakistan Horizon 60(4): 27-45.
[8] Aljunied, Khairudin (2017) Hijabis as Purveyors of Muslim Cosmopolitanism. In Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective. Khairudin Aljunied. Pp. 102-130. Edinburgh: Edinburgh University Press.
[9] Furseth, Inger (2011) The Hijab: Boundary Work and Identity Negotiations Among Immigrant Muslim Women in The Los Angeles Area. Review of Religious Research 52(4): 365-385.
[10] Saper, Jacqueline (2018) Sister, Guard Your Hijab. In From Miniskirt to Hijab. Jacqueline Saper. Pp. 123-131. United State: University of Nebraska Press, Potomac Books.
[11] Hawkins, Simon (2008) Hijab: Feminine Allure and Charm to Men in Tunis. Ethnology 47(1): 1-21.
[12] Cainkar, Louise A. (2009) Gendered Nativism, Boundary Setting, and Cultural Sniping: Women as Embodiments of the Perceived Cultural Threat of Islam. In Homeland Insecurity: The Arab American and Muslim American Experience After 9/11. Louise A. Cainkar. Pp. 229-262. New York City: Russell Sage Foundation.
[13] Olufemi, Lola (2020) The saviour complex: Muslim women and gendered Islamophobia. In Feminism, Interrupted: Disrupting Power. Lola Olufemi. Pp. 67-81. London: Pluto Press.
[14] Selod, Saher (2018) Self-Discipline or Resistance?: Muslim American Men and Women’s Responses to Their Hypersurveillance. In Forever Suspect: Racialized Surveillance of Muslim Americans in the War on Terror. Saher Selod. Pp. 99-124. New Jersey: Rutgers University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?