Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Gambar
Source:  https://www.tagar.id/ Negara dan agama, agaknya menjadi dualitas krusial dalam pembentukan upaya politisasi cara hidup masyarakat dalam satu lingkup kepemerintahan. Relasi kuasa antar- stakeholders nyatanya memegang kunci terhadap pengendalian beragama tiap kelompok yang ada. Bagaimana individu berperilaku dan bertindak telah terpolitisasi secara struktur di bawah suatu kekuasaan. Memang, aturan tidak selalu dilegitimasi keabsahannya melalui regulasi hukum negara, tetapi ihwal tersebut umumnya terlegitimasi secara sosial—sehingga secara otomatis menjadi hukum sosial-moralis yang terus berkembang dan langgeng dalam satu internal komunitas, memberikan batasan inklusif dan eksklusif [1] . Agama tak ubahnya sebagai subjek kontestasi yang patut dikritisi dalam diskursus akademik, yang lebih luas dari sekadar belajar teologi. Semua agama di dunia memiliki doktrin aturannya masing-masing, termasuk Islam. Dalam konteks ulasan kali ini, saya ingin mengajak pembaca memikirkan

Migrasi: ‘Tabu’ Perempuan dalam Lingkar Mobilitas Petungkriyono

Gambar
Mbah Slamet, ibu dari Pak Lurah Desa Tlogopakis   Pengrajin camping, pasangan suami istri Perempuan merupakan entitas yang penting dalam bermasyarakat. Melalui sosok inilah manusia satu per satu menampakkan kenaikan populasinya. Begitu besar peranan perempuan ini, tak luput dari konteks Petungkriyono. Meskipun demikian, ‘peran’ sebagai perempuan ini hanya sebatas sinonim dari apa yang disebut ‘kodrat’. Bagi masyarakat Petungkriyono sendiri, kodrat perempuan itu tidak jauh dari hasil peranakan sistem patriarkis yang masih eksis. Perempuan hanya dilahirkan untuk menjadi sebuah tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan oleh dua laki-laki, yaitu oleh bapaknya jika belum menikah; suaminya jika sudah menikah. Dengan begitu secara tidak langsung melanggengkan batasan-batasan ruang gerak perempuan. Menjadi tanggung jawab berarti semua yang dilakukan perempuan Petungkriyono haruslah bertumpu pada izin siapa yang menjadi penanggungjawabnya. Bu Lasiyem, perjalanan ke kebun

Terbesitnya Sosial Protes dalam Satu Panggung Sandiwara

Gambar
A picture by: Atha Raditha, 23 September 2019; TBJT Surakarta The Three Lives of Antigone merupakan sebuah naskah drama milik Slavoj Zizek, yang untuk pertama kalinya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh kelompok Teater Terjal FIB UGM dengan judul Antigone: Trilogi Kematian Hasrat. Naskah ini menceritakan seorang tokoh bernama Antigone yang sangat setia kepada keluarga serta hukum paten dari para dewa. Juga Raja Creon—paman dari Antigone—yang sangat otoriter dan selalu mengatasnamakan kebaikan negara dalam membuat keputusan. Akan tetapi, ketika suatu masalah datang, lalu Antigone mencoba untuk menyuarakan pendapatnya akan permasalahan tersebut, malah mengakibatkan munculnya banyak malapetaka di Negeri Thebes. Permasalahan itu bermula ketika Antigone menginginkan saudaranya, Polyneices, yang sudah makar terhadap negara agar dimakamkan dengan semestinya. Namun, karena ia dianggap makar, Creon pun tidak ingin memberikan pemakaman yang layak. Ia hanya membiarkan jasad

Awas, Asusila Masuk Kampus!

Gambar
Source:  https://traxonsky.com/ Membicarakan tentang ‘perempuan’ tidak akan pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, perempuan selalu menjadi objektifikasi—terutama kemolekan tubuhnya yang selalu dianggap ‘seksual’. Objektifikasi perempuan ini umum dilakukan oleh para lelaki yang dianggap memiliki ‘kuasa’ tinggi. Mereka secara sadar mereka menggunakan power yang dimiliki untuk menjamah tubuh perempuan sesukanya. Mirisnya, fenomena ini terjadi di kampus! Tempat yang seharusnya menjadi sumber wawasan dan pendewasaan agar kita dapat lebih ‘memanusiakan manusia’—tetapi justru dirusak oleh oknum cabul berkedok ‘ilmu’. Ya, mungkin ia memiliki ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi dari kami sebagai mahasiswa. Tetapi, bukan berarti ia dapat bertindak sesuka hati—dan seolah menggobloki kami hanya karena kami tidak memiliki power lebih darinya. Kecewa, marah, jijik, ingin misuh lah—kesan yang pantas untuk diumpatkan menanggapi hal tersebut. Hmm, sepertinya sedari tadi kita hanya me

Lukisan Kamasan: Kontemplasi Kesakralan dan Komoditas, Mana yang Tepat?

Gambar
Source:  http://balibalik.over-blog.com/ Apa yang menarik dengan Bali?—pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk ditanyakan, karena mayoritas orang pasti sudah dapat menduga bagaimana jawabnya. Ketika membicarakan romansa keindahan dan daya tarik Pulau Dewata ini, pasti tidak akan ada habisnya. Tulisan ini saya tujukan untuk sedikit mengulik kisah romansa keindahan pulau ini—dengan menggunakan studi literatur. Sebuah keindahan, kalau Orang Bali   menyebutnya tidak akan pernah hanyut dalam arus pengglobalan dunia—yang kata orang Bali sih bersifat ‘selamanya’. Keindahan abadi itu tidak lain ialah Lukisan Wayang Kamasan. Lukisan Wayang Kamasan—atau yang biasa disebut dengan Lukisan Kamasan—merupakan salah satu gaya lukisan yang sampai saat ini masih mempertahankan nilai-nilai filosofis spiritual dan budaya di samping nilai estetikanya. Seni lukis gaya Kamasan merupakan citra dari seni lukis tradisional Bali [1] . Ketika suatu benda bernamakan ‘tradisional’, itu menandakan