Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?

Mewacanakan Indonesia atas komitmennya terhadap SDGs telah dimulai jauh sebelum dideklarasikannya SDGs pada September 20015 dengan mensinergikan 94 terget SDGs dalam RPJM 2015-2019 (lih. http://sdgs.bappenas.go.id). Komitmen ini akan dilanjutkan dan lebih ditingkatkan dengan mengintegrasi lebih banyak target SDGs ke dalam dokumen RPJM 2020-2024. Meleburkan diri sebagai salah satu pioneer tercapainya keberhasilan program keberlanjutan ini, secara eksplisit mengharuskan Indonesia memutar otak agar dapat terus bersinergi tiap pemangkunya.

Source: Jacob/Shutterstock

Mengacu pada salah satu video berjudul The Sustainable Development Goals: 17 Goals to Transform Our World, terdapat 17 target ketercapaian yang terangkum dalam program SDGs ini. Dari ketujuh belas target tersebut, banyak sekali poin—bahkan seluruhnya—yang harus dan wajib digarisbawahi ketika melihat andil Indonesia. Satu diantaranya yang sangat mencolok mata ialah peace, justice and strong institutions. Menurut penilaian saya, Indonesia masih jauh dari ketercapaian poin tersebut, baik pada tingkat nasional maupun subnasionalnya. Perlu contoh studi kasusnya? Wah, banyak sekali!

Pengimplementasian SDGs harus dilaksanakan secara menyeluru hingga pada tingkat komunitas atau masyarakat. Akan tetapi, agaknya pemerintah Indonesia—baik secara nasional maupun daerah otonomnya—belum mampu menggagas ihwal tersebut.

Menilai persoalan tersebut, saya akan mengambil satu dari beribu studi kasus yang ada, ialah persoalan pemekaran daerah tanah Papua yang dinilai hanya sebagai siasat elit politik saja. Mengacu pada disertasi yang terbit sebagai buku milik I Ngurah Suryawan (2020: 136), menginformasikan bahwa beberapa kampung hasil pemekaran dari kabupaten baru di Provinsi Papua Barat kondisi pelayanan publiknya sangat menyesakkan (dibaca: jauh dari cita-cita untuk mengakses pembangunan). Masih merefleksikan tulisan milik Suryawan, pemekaran kampung menjadi lahan baru bagi para elit kampung untuk mengais rezeki. Keseluruhan dana pembangunan yang masuk—PNPM, Otsus, Pemda dan bantuan lain—diatur oleh kepala kampung dan beberapa pionnya. Budaya baku tipu penggunaan anggaran terserap perlahan di antara masyarakat kampung. Introduksi berbagai program pembangunan turut berperan dalam pembentukan kelompok masyarakat yang diam-diam lihai bersiasat untuk memanfaatkan situasi yang menguntungkan para pemilik kuasa.

Dari satu contoh tersebut dapat kita lihat, bahwa dalam mencapai wacana ‘SDGs’ ini Indonesia sangat dihadapkan dengan perdebatan terkait praktik-praktik ketidakjujuran institusinya. Hal ini semakin diperkuat dengan keadaan maraknya intervensi dari pihak asing. Seperti yang dapat kita lihat saat ini, pemerintah pusat kita agaknya semakin tergiring pada giuran investor asing, yang ‘katanya’ dapat memperkuat ekonomi Indonesia, tetapi realitas menunjukkan hanya berlaku bagi beberapa pihak saja. Lebibh lanjut lagi, orientasi ekonomi Indonesia saat ini justru mengacu pada penguatan citra neoliberalis. Persoalan ini dikhawatirkan hanya menjadi siasat para elit—baik di tingkat nasional maupun subnasionalnya—tanpa memerhatikan masyarakat setempat, yang dalam kasus SDGs ini menjadi salah satu ujung tombak kesuksesan program berkelanjutan tersebut.

Poin selanjutnya yang paling saya sorot ialah menyoal good health and well-being. Secara global, permasalahan ini harus selalu ditilik. Kemerdekaan akan kesehatan dan kehidupan yang layak tidak perlu terikat pada siapa dan di mana—setiap jiwa-raga harus memiliki hak yang sama atas ini. Indonesia terbaca sangat lemah dalam praktik, walaupun secara wacana sudah mulai legible. Hadirnya beberapa program jaminan kesehatan seperti BPJS salah satu program sehat pemerintah yang sangat menggelitik pikiran saya. Bagaimana tidak, lha wong praktiknya saja sudah tidak sesuai dengan apa yang dicitakan. BPJS bila dilihat dari konsep utamanya sudah cukup baik, namun narasi tersebut hanya tinggal janji. Masih ditemukan banyak—sangat banyak—kekurangan. Berkaca dari berbagai cerita di sekitar daerah saya, tidak sedikit pihak yang melayangkan surat gagal bagi pelaksanaan asuransi kesehatan ini, terlebih bagi pemilik BPJS kelas bawah.

Diskriminasi menjadi pokok permasalahan utamanya. Bentuk-bentuk ketidaksetaraan tersebut justru hadir dari pihak penyelia kesehatan, yang seharusnya menjadi tombak bagi pelaksanaan jaminan kesehatan ini. Besarnya tingkat kerumitan prosedur dari BPJS itu sendiri juga memperkuat citra bahwa Indonesia masih gagal dalam menyelenggarakan kesehatan bagi seluruh rakyatnya.

Indonesia belum memiliki budaya immaterial yang kuat, alhasil sinergitas antarpemangku kepentingan pun masih jauh dari kata ‘berhasil’.

Beberapa contoh yang saya garis bawahi di atas sedikit menunjukkan betapa Indonesia masih belum mampu dan siap menuju program dunia yang berkelanjutan ini. Indonesia belum memiliki budaya immaterial yang kuat, alhasil sinergitas antarpemangku kepentingan pun masih jauh dari kata ‘berhasil’.


Referensi:

Suryawan, I Ngurah. 2020. Siasat Elite Mencuri Kuasa. Yogyakarta: Basabasi.

Bappenas. 2018. Kolaborasi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/ SDGs) di Indonesia. Artikel Web. https://sdgs.bappenas.go.id/kolaborasi-dalam-mencapai-tujuan-pembangunan-berkelanjutan-tpbsdgs-si-indonesia/, diakses pada 12 Oktober 2020, 05.17.

SDGC Africa. 2018. The Sustainable Development Goals: 17 Goals to Transform Our World. Youtube Video. https://youtu.be/HW76iOQ7qVQ, diakses pada 11 Oktober 2020, 11.53.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta