Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Prolog

“Awas ada bencong!”

“Eh kamu itu laki atau perempuan sih?! Ga jelas banget, mbok ya jangan aneh-aneh!”

“Woiii, laki-laki kok pake mukena! Mending gausah salat deh, orang gak bakal diterima, Allah gak kenal sama kamu yee!”

Foto: kumparan.com

Beberapa perkataan itu bagai makanan pokok bagi para waria—terlebih kelompok waria di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta ini. Awal kedatangan saya disambut oleh kalimat-kalimat menohok yang sontak mengiris batin saya kala itu. Mereka menceritakan bagaimana susahnya hidup menjadi seorang yang ‘berbeda’ (dibaca: seorang yang tidak diharapkan hadir di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas dan normalitas—sepertinya). Melihat bagaimana mereka bercerita dengan linangan air mata mau tidak mau membuat saya jatuh dalam alur cerita yang menyesakkan. Mereka dituntut dan dipaksa oleh keadaan untuk terus berjuang dengan cara apapun demi mendapatkan kehidupan layaknya individu yang memiliki gender sesuai jenis kelaminnya. Membayangkan betapa pedihnya kehidupan teman-teman waria ini, membuat saya tergerak untuk terus mengajaknya berdialog sebagai seorang teman sekaligus melanjutkan penelitian saya hingga rampung agar dapat memberikan sedikit kontribusi untuk menyembuhkan luka batin mereka— harapan saya.

Membicarakan keberadaan waria telah menjadi diskursus yang sangat menarik di tengah era ‘came out dan ‘self-love’ saat ini. Beragam topik pun mencuat, mulai dari pemilihan diksi yang tepat dalam penyebutan kelompok gender tersebut, hingga korelasinya dengan isu sosial lain—seperti migrasi. Bahkan, akan menjadi menarik bila menelaah kehidupannya sebagai umat beragama serta aspek-aspek spiritualitas diri yang seolah menjadi substansi penting untuk menegosiasikan gejolak batin dalam hidup mereka.

Selama penelitian dimulai hingga akhir penulisan, saya memilih menggunakan diksi ‘waria’ untuk menggambarkan para santri Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta ini. Pemilihan diksi didasarkan atas kesepakatan antara saya bersama teman-teman santri yang ada di pondok pesantren tersebut. Dalam penelitian ini pula saya memberikan porsi cukup besar untuk melihat isu migrasi yang dilakukan oleh sebagian besar waria demi mencari dan mendapatkan kesesuaian diri, baik dengan ketenangan batinnya maupun lingkungan sekitar yang mendukung kiprah mereka sebagai seorang waria—seorang yang dianggap keluar dari batas semestinya. Saya mencoba mengaitkan migrasi sebagai elemen pokok untuk mencapai ketenangan batin hingga resiliensi diri seorang waria.

Umumnya, migrasi menjadi pilihan yang tepat sebab dapat mengantarkan individu ke tempat yang mungkin jauh lebih baik dan aman dibanding kondisi sebelumnya. Namun, hal itu tentu tidak menjamin, sebab setiap daerah memiliki karakter permasalahan juga penerimaan masing-masing yang bisa jadi tidak selalu nyaman dan sesuai bagi seorang waria. Ini menjadi persoalan yang juga menarik untuk diperhatikan, sebab setiap waria pasti memiliki strategi masing-masing untuk melewati tantangan ini. Lebih menarik pula berbagai strategi yang dilakukan oleh para waria di Pondok Pesantren Al-Fatah, yang membenturkannya dengan nilai juga nafas-nafas keagamaan atau spiritualitas hingga akhirnya mampu bertahan dan berdamai dengan keadaannya yang berbeda.

Topik ini menjadi sangat relevan untuk dibicarakan sebab Indonesia dengan julukan Bhinneka Tunggal Ika nyatanya tidak dapat mengimplementasikan nilai toleransi dalam kehidupan sosial dan agama. Alhasil, waria sebagai kelompok yang terpinggirkan tidak mendapat ruang, baik dalam ranah sosial maupun agama. Maka itu, penelitian ini sangat diperlukan untuk memberikan ruang bercerita bagi teman-teman waria sekaligus membuka mata pembaca bahwa waria juga merupakan entitas gender yang berhak bersosial dan beragama atau mengenal Tuhan.

Penelitian serupa memang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan studi kasusnya masing-masing, bahkan dalam kelompok waria yang sama dengan penelitian kali ini. Akan tetapi, satu aspek yang membedakan ialah mengenai migrasi. Bagaimana akhirnya migrasi mampu menjadi sebuah proses juga medium untuk mengantarkan teman-teman waria mendapat ruang bertemu dan mengenal Tuhan—at the end, hal itu menjadi bagian penting dalam upaya mereka untuk berdamai dan mencapai resiliensi diri masing-masing.

Saya membawa sejumlah pertanyaan yang mengusik. Tentu bukan hanya untuk mendapatkan jawaban saja, tetapi untuk mengajak saya dan pembaca berefleksi serta menegosiasikan ulang hingga mencapai kesadaran utuh memaknai toleransi. Saya mempertanyakan mengapa migrasi selalu menjadi pilihan bagi para waria yang sedang mencari jati diri serta pengakuan atas gendernya dan apakah migrasi menjadi pilihan yang selalu tepat. Bila migrasi menjadi pilihan lantas bagaimana strategi resiliensi mereka selama hidup di perantauan. Kemudian, ketika wacana keagamaan muncul untuk mendamaikan gejolak batin para waria migran ini, bagaimana elemen tersebut bekerja dan dinegosiasikan.

Sudah Pernah Ada Sebelumnya

Jauh sebelum penelitian ini diadakan, sudah banyak dilakukan studi dengan kasus serupa. Kendatipun banyak studi pendahulu, namun sejauh pemahaman saya penelitian menyoal waria, migrasi, dan spiritualitas keagamaan urung dilakukan di Indonesia. Salah satu studi serupa yang dilakukan ialah milik Nadzeya Husakouskaya pada tahun 2016 dengan judul Queering Mobility in Urban Gauteng: Transgender Internal Migrants and Their Experiences of “Transition” in Johannesburg and Pretoria. Penemuan studi ini menyatakan bahwa bentuk kepemilikan spiritual yang ditemukan dalam narasi transgender migran mengindikasikan adanya linearitas antara migrasi dengan negosiasi (baik dengan diri sendiri, keluarga, atau bahkan masyarakat) atas spiritualitas, seksualitas, dan identitas gender.

Husakouskaya berhasil membawakan narasi kausalitas antara migrasi dengan ‘apa yang terjadi di rumah’ bagi para transgender daerah Afrika. Mengambil pandangan milik Rutherford (2011), Husakouskaya menjadikan kepemilikan sebagai sebuah konsep yang secara konvensional digunakan untuk mendekati pengalaman para migran yang menegosiasikan makna rumah dan menjalin relasi baru untuk tinggal juga mengakses sarana penghidupan di negara tujuan.

Studi ini merupakan bentuk kualitatif yang melibatkan beberapa informan transgender untuk berbagi pengalamannya menjalani migrasi, dinamika berpindah dari satu tempat ke tempat lain— menjadi bukti adanya negosiasi atas seksualitas, konstruksi gender, dan spasial. Sebagian besar peserta yang menyebut dirinya sebagai internal migrants memutuskan bermigrasi lantaran ketidaksiapan ‘rumah’ menerimanya sebagai transgender. Mereka menekankan perjuangannya untuk menegosiasikan kepemilikan mereka di beberapa ruang yang saling berelasi, ialah keluarga atau rumah, komunitas lokal atau host, komunitas LGBT, juga agama atau spiritual.

Dalam narasi migran transgender, rumah diimajikan secara ambigu. Di satu sisi, rumah digambarkan sebagai tempat yang dapat memberikan rasa aman dan terlindungi. Bila merunut pernyataan milik Blunt dan Dowling (2006) dalam sebuah studinya, menyatakan bahwa rumah juga dapat diteorikan dengan cara lain, seperti tempat di mana tenaga kerja baru diproduksi ulang dan ruang-ruang gender ditegaskan (marxisme dan feminisme) atau bisa jadi sebagai situs agenda dan krativitas (humanisme). Akan tetapi, dengan berjarak dari rumah atau Husakouskaya menyebutnya being far from home, menjadi salah satu cara mereka dapat menerima dan memastikan identitas mereka (dibaca: berdamai dengan diri sendiri), menyelaraskan ekspresi gendernya dengan mode keberadaan gender yang disukai (being who they are), mengurangi tekanan psikologis yang dialami di rumah, dan menyeimbangkan hubungan mereka dengan anggota keluarga—terutama bagi keluarga yang tidak mendukung atau menerima. Dalam hal ini, migrasi dimaknai untuk menghindari ketegangan lebih lanjut dalam keluarga dan/atau masyarakat. Namun, acap kali bagi transgender yang menjadi migran paksa, juga menemui berbagai hambatan di tanah tujuannya. Bukti menunjukkan bahwa banyak para transgender yang bermigrasi secara paksa tanpa perlindungan yang memadai telah mengalami viktimisasi yang parah dan berkepanjangan (Alessi, Kahn, dan Chatterji 2016; Kahn 2015a; Shidlo dan Ahola 2013).

Lokus krusial lain yang ditampilkan dalam studi ini ialah korelasinya dengan agama atau spiritualitas individu. Agama sebagai keyakinannya terhadap Tuhan ditempatkan sebagai salah satu elemen kunci dari narasi kehidupan mereka sebagai kelompok trans. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Vásquez dan Knott (2014); juga Wong (2014), bahwa agama berkontribusi membentuk serta memetakan perjalanan migran, sementara pada gilirannya migrasi membentuk keyakinan, praktik, dan wacana keagamaan mereka. Tradisi agama yang berbeda memberikan sumber daya yang berbeda untuk memahami dan memvalidasi perjalanan migran (Wong, 2014: 308).

Kendatipun penelitian tersebut telah menyuguhkan hasil akhir persis dengan apa yang saya temukan, namun korelasi antarvariabel milik Husakouskaya tidak sepenuhnya sama. Husakouskaya menjadikan agama sebagai variabel yang mendukung para kelompok transgender ini bermigrasi. Temuan saya justru membantahnya, variabel agama atau spiritualitas justru muncul selama dinamika bermigrasi dan pencarian identitas atau jati diri para transgender itu berlangsung.

Menafisrkan Frasa

Waria dan Migrasi Tidak Teratur

Bagi sebagian masyarakat pro-aktivis LGBTQ tidak lagi membenarkan diksi waria untuk menggambarkan teman-teman transpuan. Itu yang menyebabkan kebimbangan saya untuk memilih diksi yang tepat selama penelitian ini berlangsung. Berjalan dengan pilihan sendiri bukan solusi, saya melibatkan teman-teman narasumber menentukan kata apa yang tepat dan nyaman untuk menggambarkan dirinya. Waria adalah satu-satunya jawaban. Pemilihan sebutan waria berarti kedamaian untuk mereka, damai atas pergulatan batinnya selama ini mencari sebuah pengakuan. Waria tidak hanya berarti wanita pria, namun merupakan kontemplasi pikiran dan jiwa individu atas pengalamannya menjadi berbeda selama masa hidupnya. Menjadi waria menandakan bahwa mereka telah menjadi ‘yang sesungguhnya mereka imajikan’—adanya ketenteraman jiwa ‘bahwa aku ini berbeda, and I’m unique’. Dalam sapaan keseharian, mereka pun lebih suka dipanggil ‘mbak’, kendati sesekali penampilannya tetap ‘seperti’ laki-laki.

Beranjak dari pilihan diksi tersebut, kelompok transgender—atau dalam kasus ini ialah waria— sebagian besar pernah bermobilisasi lintas daerah dengan membawa alasannya masing-masing. Sebuah studi menunjukkan bahwa banyak orang kelompok transgender yang dipaksa untuk bermigrasi dari tempat asalnya tanpa perlindungan yang memadai untuk minoritas seksual dan gender, serta mengalami viktimisasi parah dan berkepanjangan (Alessi, Kahn, dan Chatterji, 2016; Kahn, 2015a; Shidlo dan Ahola, 2013). Mereka terus menghadapi diskriminasi dan prasangka, tidak hanya Indonesia tetapi hampir seluruh dunia. Pada 2016, 73 negara telah mengkriminalisasi homoseksualitas, dan 13 negara bagian atau wilayah tertentu di dalamnya, mereka bahkan menegakkan hukuman mati untuk aktivitas seksual sesama jenis (Carroll, 2016). Di bawah ancaman viktimisasi, diskriminasi dan pengucilan sosial tersebut, mendorong banyak individu transgender terpaksa meninggalkan negara atau daerah asal mereka untuk mencari perlindungan (LaViolette, 2009). Tidak sedikit dari mereka mengalami pelecehan fisik dan emosional, penyerangan, pengucilan, pemerasan, pernikahan heteroseksual paksa, ‘corrective rape’ dan tekanan untuk berpartisipasi dalam terapi (Shidlo dan Ahola, 2013).

Selain perlindungan, mereka juga mengharapkan adanya penerimaan serta pengakuan atas perbedaan diri yang dimiliki. Mereka hanya ingin diakui sebagai salah satu entitas manusia secara sosial. Keinginan untuk mendapatkan kebebasan menuntut mereka meninggalkan akuarium tempatnya berenang, mencari wadah yang jauh lebih besar.

Ketika memutuskan untuk pergi, mereka tidak hanya terancam secara psikologis, seksual atau tindakan fisik saja, kekerasan administratif pun turut ambil bagian. Waria migran sering kali tidak terdaftar secara resmi, dalam arti mereka pergi tanpa jaminan identitas tinggal. Mayoritas yang pergi dengan penuh desakan, cenderung belum atau tidak membawa identitas apapun—seperti KTP atau bermacam jaminan asuransi. Oleh sebab itu, waria migran ‘paksa’ tidak akan mendapat akses layaknya migran terdokumentasi. Itulah, beberapa bentuk marjinalisasi dari segala arah bagi para waria—terlebih mereka yang bermigrasi tanpa dokumen.

Pencarian dan Pembentukan Identitas Baru: Individu dan Kolektif

Menerjemahkan pencarian dan pembentukan identitas baru dalam konteks waria sangat lekat dengan studi marjinalisme sebagai oposisi paham multikulturalisme di antara masyarakat mayor. Memahami dasar marjinalisasi waria ala Foucault (2002a; 2002b; 2002c; Hardiyanta, 1997), bahwa proses peminggiran tersebut dibangun secara bersama-sama oleh negara, kapital, masyarakat, dan agama. Marjinalisasi ini kemudian melahirkan episteme. Episteme inilah yang memproduksi wacana, apakah wacana tersebut menolak atau menerima kehadiran waria. Keberadaan waria tergantung oleh produksi wacana (Koeswinarno, 2007), apakah wacana yang dibangun masyarakat, agama, negara dan kapital menolak atau menerima kehadiran waria (dibaca: bukan hanya wacana elitis).

Sayangnya, produksi wacana masyarakat kita terhadap kelompok waria masih jauh dari nilai multikultur—yang menerima perbedaan. Kebanyakan justru merundung dan menolak kehadiran waria di tengah norma yang diyakini, sebab waria dilingkarkan dalam wacana ‘yang tidak sesuai norma masyarakat’. Pada tataran simbolik, marjinalisasi menghasilkan bentuk stigmatisasi yang dituangkan ke ranah publik secara negatif. Hal ini mengakibatkan kontribusi waria terhadap pengembangan diri dan ranah publik menjadi terhalangi dan lenyap. Maka itu, marjinalisasi waria di Indonesia sendiri mengarah pada orientasi represif.

Pembidikan waria sebagai kelompok menyimpang, mengakibatkan ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidup dalam lingkungannya sendiri. Tindakan tersebut—yang dibarengi dengan kainginan tahu mencari pengalaman baru—mendorong mereka untuk melakukan perjalanan dan terlibat dalam interaksi sosial lintas budaya itu sendiri (Koeswinarno, 2007), dengan salah satu tujuannya ialah mencari jati diri (dibaca: siapa aku sebenarnya, mengapa aku sendirian, tidak adakah yang seperti aku di luar sana).

Pencarian jati diri atau identitas individu seorang waria berkaitan erat dengan pencarian identitas kolektif berdasarkan kesamaan nasib dan peruntungan. Menurut tesis milik Koeswinarno (2007) atas studinya terhadap kelompok waria di Yogyakarta, menyatakan bahwa umumnya kaum waria yang menyatu dalam sebuah lingkungan tertentu, memiliki kelompok eksklusif, memiliki bahasa, dan kemudian menghasilkan kebudayaan, merupakan salah satu cara, strategi dan alat legitimasi dalam mengupayakan adanya penerimaan sosial. Artinya, kelompok-kelompok eksklusif waria terbentuk karena tekanan, penolakan sosial dan pengasingan. Kenyataan sosial yang memarjinalkan waria membuat mereka harus belajar mengenal diri dan lingkungan sosialnya agar mampu berinteraksi. Keterlibatan dalam interaksi sosial tersebut tanpa disadari telah memperkuat kesadaran akan identitas kelompok yang membedakan dengan kelompok lain, baik sebagai kelompok marjinal atau kelompok yang sengaja diciptakan di kalangan waria.

Identitas kolektif (peoplehood) sebagai sarana penataan sosial (organizing reference) itu dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat untuk mengikat kesetiakawanan sosial. Kesadaran menjadi bagian dari anggota kelompok itu lah yang akan menjamin rasa aman atau setidaknya kenyamanan bagi individu yang bersangkutan. Hal ini tidak akan didapat bila seorang individu tidak memberanikan diri untuk keluar dari sebuah keterasingan yang dialami.

Makna Spiritualitas dalam Keberagamaan Waria

Memahami makna spiritualitas dalam keberagamaan waria harus ditelaah melalui dua aspek, yaitu ‘seperangkat’ aturan dan cara ‘meng-irasional-kannya’. Dengan kata lain, memahaminya sebagai norma dan nilai. Geertz menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki ketergantungan pada simbol dan sistem simbol, sehingga mereka memiliki kemampuannya sendiri untuk menerjemahkan agama—disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan oleh nilai dari agama itu sendiri. Melalui kumpulan makna umum di dalam agama, masing-masing individu menafsirkan pangalaman serta mengatur tingkah-lakunya (Geertz, 1992b). Bila mengikuti jalan pikiran Geertz, akan mengindikasikan bahwa waria memiliki caranya sendiri dalam memperlakukan agama dan akan disesuaikan dengan psikologis kebatinannya.

Sebagaimana Geertz, Berger (1994) menerjemahkan agama sebagai level simbol, sehingga masing- masing individu memiliki tafsir yang berbeda terhadap agama. Pasalnya, individu telah melalui serangkaian pengalaman yang berbeda. Pengalaman historis inilah yang memiliki pengaruh dalam dimensi tafsir agama, sehingga melahirkan perilaku beragama yang berbeda pula.

Agama bersandar pada estetika sebagai sebuah cara untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman individual bagi sebuah paradigma perasaan yang bersifat kolektif (Cavallaro, 2001). Pemaknaan agama dengan demikian memiliki dua sisi otoritas, yaitu kolektif dan individu (Koeswinarno, 2007). Seseorang mempraktikkan perilaku religius, tidak hanya mengikuti aturan-aturan agama atau kelompok, namun juga secara individu ia memiliki praktik yang terkadang berbeda dengan kelompoknya. Dasar pemikiran seperti itu menjadi prasyarat untuk melihat waria tidak hanya pada tataran kolektivitas semata, tetapi secara individu juga harus diperhatikan, sebab mereka memiliki pengalaman individual untuk menjadi waria. Di sinilah nilai agama menjadi bagian dalam memberi hidup dan kehidupan manusia, termasuk waria.

Merujuk secara harfiah, agama dalam Bahasa Arab disebut ‘din’ yang berarti ketaatan dan/atau pahala. Melalui Koeswinarno (2007), saya memahami dalam istilah din menandakan adanya keyakinan kepada Sang Pencipta manusia dan alam semesta serta ajaran-ajaran yang sesuai, yaitu keyakinan dan seperangkat hukum atau dasar aturan. Adapun menurut Stark dan Glock (1993), untuk menjelaskan keberagamaan harus dilihat dalam lima dimensi, yaitu keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi, di mana masing-masing bisa saling berkait atau tidak sama sekali. Orang yang yakin dengan keberadaan Tuhan, tidak serta-merta khusyu’ melakukan praktik agama. Begitu sebaliknya, orang yang taat melakukan praktik agama tidak selalu memiliki pengetahuan yang baik tentang agama. Dari sini terlihat adanya gap antara agama sebagai norma dengan agama sebagai nilai—atau yang saya sebut sebagai spiritualitas.

Tishler (1990) meyakini setiap agama memiliki beberapa dimensi penting yang menjadi keyakinan, yaitu doktrin keselamatan, ketuhanan, ritual dan etika atau hukum sosial. Di antaranya yang paling fundamental adalah konsep kehidupan setelah mati (eskatologi) dan keselamatan (salvation). Dengan demikian, jika menyangkut persepsi atas keyakinan agama yang mengakar pada hati dan pikiran yang terbentuk oleh serangkaian pembelajaran serta pengalaman hidup, akan tidak mudah untuk ditaklukkan atau diadili. Oleh sebab itu, setiap orang secara otonom memiliki ‘kekuasaan’ untuk mempercayai atau meyakini hal yang dianggap paling mendasar dalam agama dan ketuhanan.

Waria percaya bahwa hidup yang dijalani telah diatur oleh Tuhan, termasuk bagaimana menjalani hidup sebagai waria. Menjadi waria dianggap sebagai bagian dari keadaan yang tak bisa dielakkan, diciptakannya waria adalah salah satu misteri dan kekuasaan Tuhan. Menurut studi tentang keberagamaan waria di Yogyakarta milik Koeswinarno (2007), waria tetap dapat memiliki keyakinan akan keberadaan eskatologi dan keselamatan, kendati persepsi waria terhadap agama kurang baik. Hal itu disebabkan lantaran persepsi menyangkut sebuah proses psikologis, sedangkan keyakinan merupakan proses yang sangat irasional karena menyangkut persoalan yang sulit dibuktikan secara indrawi. Waria yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian akan selalu berusaha mencapai kehidupan itu melalui persepsinya masing-masing. Itu sebabnya meskipun waria mempersepsi dan meyakini agama secara berbeda, di antara mereka tidak pernah terjadi konflik dengan dalih agama (dalam Koeswinarno, 2007)—justru konflik itu muncul dari dunia luar yang mengungkungnya.

Cara Mengenalnya

Melakukan studi kualitatif dengan topik yang cenderung sensitif seperti ini menjadi tantangan peneliti untuk lebih hati-hati dan mempersiapkan segala mekanismenya secara matang—jauh sebelum penerjunan lapangan berlangsung. Di awal, saya mendesain penelitian ini sebagai wadah bercerita bagi teman-teman waria Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta. Oleh sebab itu, saya mendekati mereka bukan sebagai seorang peneliti, melainkan sebagai teman—kawan bicara. Kendati demikian, saya tetap memerlukan berpuluh baris mekanisme atau langkah yang harus saya ambil untuk melakukan penelitian ini.

Bagian tersulit yang terlintas dalam benak saya ialah “bagaimana saya mendekati mereka?; bagaimana saya dapat masuk dalam lingkaran mereka?”. Sebab, saya tak memiliki koneksi, bahkan kesamaan nasib pun tak ada. Berkelindan lah saya dalam kegelisahan dan ketakutan atas penolakan yang bisa saja mereka lontarkan. Alih-alih mengungkung pikiran, saya memilih untuk terus merancang struktur penelitian dan terus melangkah—sembari mempersiapkan opsi-opsi lain.

Langkah pertama setelah rancangan penelitian rampung, saya melanjutkan misi untuk mencari kontak sebagai gerbang komunikasi. Bersyukurnya, ternyata teman dekat saya memiliki seorang kenalan yang dapat mengantarkanku untuk masuk dalam komunitas itu. Beliau seorang ustaz— Ustaz Arifin—yang menjadi pendamping sekaligus guru tetap dalam Pondok Pesantren Waria Al- Fatah Yogyakarta. Segera saya hubungi beliau dan diantarkanlah saya kepada Ibu Shinta, pemimpin sekaligus pendiri pesantren tersebut. Setelah mendapatkan kontak beliau, saya bergegas mengirim pesan melalui whatsapp. Kontak pertama kali hanya saya lakukan via daring karena posisi saya yang belum terbang ke Yogyakarta. Pertemuan online ini memang terasa sedikit menghambat. Ketidaknyamanan dan rasa kecil hati kian menggerogoti pikiran. ‘I wonder whether she would I accepted wholeheartedly for this research or just half-hearted and forced?’ Pasalnya, saya merasa pertemuan online pertama yang hanya sebatas tekstual ini tidak begitu mulus.

Langkah kedua, saya melakukan studi media untuk mempersiapkan diri sebelum terjun ke lapangan—ya supaya ngga bodoh-bodoh banget. Selain itu, musabab lain adanya opsi ini ialah posisi saya yang masih di luar Yogyakarta dan belum dapat berangkat dalam waktu dekat. Membaca jurnal Antonia Witt (2020), semakin membuat saya untuk lebih menekuni proses ini, sebab studi atau analisis media pasti diperlukan sebelum penelitian lapangan dimulai untuk menilai serta melihat bagaimana masyarakat memandang isu yang dibawakan. Media tidak hanya mencerminkan sikap masyarakat, tetapi juga membentuk masyarakat itu sendiri (lihat juga Elgström & Chaban, 2015: 27- 29). Melalui studi media ini saya mencoba memahami apa yang sedang terjadi di tengah kelompok waria ini dan keperluan apa yang mungkin mereka butuhkan. Di samping melakukan analisis media, saya juga membaca beberapa literatur lain, seperti jurnal, mengenai Pondok Pesantren Waria Al- Fatah Yogyakarta. Tujuannya, jelas supaya saya mengerti apa yang dapat saya tambahkan atau telusuri dalam penelitian ini.

Setelah kurang lebih satu minggu saya mencari pemahaman secara virtual-tekstual, akhirnya saya memutuskan untuk langsung mengunjungi pesantren ini—tepat satu hari sesampainya saya di Yogyakarta. Di bawah terik matahari saya susuri jalanan Kotagede bermodalkan google maps, ‘I genuinely don’t know where the place is, at all’. Benar, saya pun bingung sebab kontur geografis Kotagede yang begitu membingungkan dengan gang-gang kecilnya yang hanya muat satu motor— berpapasan pun agaknya tak mungkin. Warga sekitar pun tidak begitu mengerti lokasi pesantren ini. Sudah hampir saya berputus asa, nyatanya semesta tak mengizinkan. Saya dipertemukan dengan seorang ibu paruh baya yang dengan senang hati mengantarkan hingga di depan gerbang pondok pesantren unik ini.

Pertemuan pertama, saya langsung disuguhi pemandangan asri dan sambutan hangat yang diberikan oleh Bu Shinta serta beberapa teman waria lain. Ketakutan saya tergantikan dengan kebahagiaan, benar, saya diterima. Studi lapangan ini berlangsung selama lima minggu, yang setiap kali saya datang pasti pulang membawa cerita berharga. Saya menggunakan dua metode lapangan di sini, ialah observasi, wawancara dan unstructured focus group discussion.

Bila merujuk pada Miller dan Crabtree (1992), isu kunci yang saya tekankan dalam observasi ialah sejauh mana pengamat berpartisipasi atau biasa dikenal sebagai metode observasi partisipan. Saya jelas secara langsung terlibat dalam pengamatan ini, bahkan untuk setiap kegiatan yang mereka lakukan saya pun hadir melibatkan diri—bergulat untuk turut merasakan bagaimana menjadi ‘mereka’. Di tengah pengamatan, saya melakukan wawancara untuk mengulik lebih dalam cerita beberapa teman waria. Wawancara pada gilirannya akan mengumpulkan laporan individu dalam situasi satu lawan satu—dengan sedikit banyak campur tangan pewawancara (lihat Kvale, 2007). Miller dan Crabtree menawarkan dua jenis wawancara kualitatif yang dapat dilakukan, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Penelitian ini menggunakan dua jenis pendekatan wawancara tersebut dengan maksud mendapat kecenderungan data yang berbeda. Selain melakukan pengamatan dan wawancara, saya juga menggunakan metode unstructured focus group discussion untuk mendapatkan data. Mekanisme pendekatan sedikit berbeda dengan FGD pada umumnya. Diskusi berkelompok ini dilakukan tidak secara sengaja, melainkan insidental dengan beberapa kelompok waria yang kebetulan sedang berkumpul di pondok tersebut. Saya memulainya dengan melemparkan pertanyaan untuk memancing mereka bercerita. Pendekatan ini cukup membantu sebab dalam waktu bersamaan saya berhasil mengumpulkan cerita dari banyak narasumber berbeda.

Tinggalkan proses pencarian data, tahap selanjutnya ialah bagaimana saya mengolah data. Saya mengambil salah satu teori olah data menurut Tesch (1990), analisis interpretasi, di mana peneliti akan melapisi struktur pembuatannya sendeiri pada data sebagai alat untuk membuat fenomena yang diteliti lebih mudah dipahami. Tujuannya tidak lain untuk menghasilkan analisis deskriptif dan mungkin juga untuk membangun teori. Kegiatan analitik ini berlangsung secara aktif selama kerja di lapangan. Teknis khusus yang saya gunakan untuk membantu proses analitik adalah menulis catatan lapangan segera setelah suatu peristiwa atau interaksi serta ‘memoing’ (Bradley, 1993)—dengan menulis ringkasan berkala dari sebuah isu atau masalah dalam memo sebagai remainder bagi diri pribadi. Kendati analisis data berlangsung selama kerja lapangan, namun analisis intensif saya lakukan setelah meninggalkan lokasi. Analisis data ini melibatkan gerak bolak-balik dari abstraksi— seperti kategori—ke data, melalui pertanyaan, membandingkan dan mencaru kasus-kasus anomali (Bradley, 1993). Adapun untuk mengolah hasil wawancara, saya menggunakan metode checking off categories atau marking scale by using similar words dalam transkripnya. Tepatnya, mencari beberapa kosakata yang sering muncul dari beberapa jawaban masing-masing informan. Proses diselesaikan dengan menginterpretasikan konsep atau gambaran besarnya dari pokok masalah yang disampaikan.

Selama penelitian berlangsung, acap kali dipertemukan dengan keseganan beberapa teman waria yang coba saya dekati atau mengajaknya bercerita. Ini dapat saya pahami, sebab mereka belum mengenal saya lama dan tiba-tiba datang membawa sejuta pertanyaan tentu mengejutkan batinnya. Kondisi psikologis di antara teman-teman yang pastinya tidak sama menjadi tantangan cukup berat bagi saya. Tak hanya itu, rasa sedih dan iba yang merundung selama penelitian berlangsung membuat saya burnout hingga rasanya tak ingin melanjutkan penelitian. Profesionalitas pun diuji, dan saya berhasil melaluinya meski harus rehat sejenak—and take a deep breath.

Menyelami Obrolan

Migrasi Sebagai Jalan Mencari Pengakuan

Waria bukan semata laki-laki yang menyerupai perempuan (Koeswinarno, 2007). Waria adalah mereka yang berkelamin biologis laki-laki, namun merasa dirinya perempuan dan berperan sosial sebagai perempuan. Bila hidup adalah pilihan, tentu mereka akan memilih menjadi perempuan dengan seluruh konsekuensi psikologis, sosial dan kultural. Nyatanya, hidup sebagai waria bukanlah pilihan, sebab kondisi mereka adalah keadaan yang sebenarnya tidak terelakkan.

Pernyataan tersebut acap disepakati oleh sebagian besar teman-teman waria Pondok Pesantren Al- Fatah Yogyakarta yang telah saya temui. Mereka sama sekali tidak memilih untuk terlahir berbeda, terlebih dengan konsekuensi negatif yang jelas merugikan. Anggapan ‘tidak terelakkan’ membawa makna tersendiri bagi para waria ini, ya benar, itu semua berarti kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Ini tentu menjadi keluhan yang sama dan terjadi berulang bagi mayoritas teman waria saya. Alih-alih disudahi, keluhan itu agaknya tak pernah menjadi kawan bagi para waria. Mereka selalu dituntut untuk menjadi apa yang ‘orang lain’ harapkan (dibaca: tidak memiliki kesempatan untuk menjadi diri sendiri).

Ketidaksanggupan memenuhi ekspektasi dunia luar membuat sesiapa saja menjadi liar. Sebagai makhluk sosial, manusia jelas membutuhkan orang lain dalam proses kehidupannya. Akan tetapi, ketika mereka mengalami penolakan—sebab tak sesuai yang diharapkan/dianggap ‘aneh’—tentu gejolak dalam batin muncul. Tidak tenang, marah, kecewa, sedih dan bertanya-tanya tanpa ada yang menjawab menjadi serangkaian emosi yang muncul. Mengalami hal seperti itu membuat mereka (dibaca: waria) membutuhkan objek dan subjek yang dapat mendukung serta memeluknya. Secara singkat, pengakuan adalah satu-satunya harapan yang diinginkan. Mereka ingin diakui layaknya manusia ‘normal’ lain, ingin diterima serta dijamu dalam kehidupan sosialisasinya. Sejatinya, mereka ingin muncul dengan identitas ‘aku’ tanpa harus dibubuhi diksi penjelas liannya.

Cerita dimulai oleh Yolla, salah seorang teman waria kawakan saya. Ia menuturkan seberapa hebat kisah masa lalunya demi mendapatkan pengakuan, baik dengan dirinya sendiri maupun dari orang lain. Raut wajah kesedihan yang sudah terlampau biasa, mengiringi alur cerita yang disampaikannya. Menceritakan betapa kalut masa remaja yang ia miliki. Betapa banyak penolakan ia terima, layaknya hidup serba salah tanpa tahu jalur mana yang pantas ia tumpangi—esok dan seterusnya.

Waria lembut nan ayu ini telah mengarungi sejuta pengalaman pahit sebelum sampai pada tahap ketenangan saat ini. Kala memasuki masa bersenang-senang dan trying on everything new—remaja— ia justru mengalami perundungan sebab keinginannya mencari sebuah kenyamanan untuk menangani pergejolakan batin atas identitasnya. Kendati telah lama disadari bahwa dia berbeda— ‘saya menyadari bahwa saya itu bukan laki-laki seperti pada umumnya, tapi dikatakan perempuan pun tidak juga, jadi saya bertanya-tanya apa sebenarnya saya itu? Dan mengapa saya harus dibedakan, mengapa harus saya?’—namun selama kurun 10 tahun ia menahan diri untuk tidak berterus-terang. Yolla baru memberanikan diri untuk mencari jawaban atas identitas gendernya ketika ia beranggapan memiliki kesiapan ‘menghidupi’ diri sendiri.

Yolla telah menyadari betapa berbedanya dia sejak masih kanak-kanak. Waria paruh baya ini mengaku bahwa kedua orang tua dan lingkungan sekitarnya juga telah menyadari bahwa dia merupakan anak yang kalem, lembut dan jauh dari sifat laki-laki pada umumnya. Mengetahui hal ini keluarga Yolla memberikan kekangan yang lebih ketat dengan dalih melindungi agar ia tidak bertindak lebih ‘gila’. Cemoohan dari lingkungan dan kerabat sekitarnya turut membuat orang tua Yolla semakin merundung anaknya hingga ia pun tak memiliki kesempatan untuk hidup bebas seperti yang selama ini diimpikannya. Dengan nada yang sedikit bergetar, Yolla mengungkapkan perasaannya kala itu. Ia bahkan tak pernah mau hidup seperti itu. Bila harus memilih, Yolla tentu tidak mau berada di antara kebimbangan tentang siapa seharusnya ia menjadi. Bahkan, ia sempat menyalahkan Tuhan, ia kecewa mengapa Tuhan terasa tidak begitu adil dengannya.

Selama bertahun-tahun Yolla hidup dalam kebingungan dan juga amarah yang terpaksa ia pendam. Hingga suatu ketika, ia merasa begitu muak dengan keadaan. Hanya satu yang selalu terlintas dalam pikirannya, ‘aku hanya ingin bebas, aku ingin seperti manusia biasa di luar sana yang hidup tanpa ada tekanan juga berhak sepenuhnya menjalani hidup dengan caraku sendiri. Aku hanya ingin diakui sebagai aku, yang sama seperti lainnya’.

Satu-satunya jalan yang terlintas di benak teman-teman waria untuk keluar dari perundungannya ialah bermobilisasi. Pergi meninggalkan lingkungan yang tidak pernah menerimanya. Tak ada yang dibawa selain harapan untuk mendapat pengakuan dan penerimaan di lingkungan yang baru. Migrasi menjadi obat mujarab bila merunut pada sebagian cerita teman waria yang saya terima. Tidak hanya bagi Yolla, keberhasilan migrasi sebagai obat turut dirasakan oleh Erna, waria yang berasal dari Trenggalek. Bagi Erna, cukup membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskan bermigrasi. Tepat ketika ia beranjak dewasa, dengan membawa ijazah sekolah menengah atasnya, ia pergi meninggalkan rumah. Berbekal uang 250 ribu dan modal nekat, ia sampai di Yogyakarta. Berjalan tanpa arah, itulah yang mengiringi langkah Erna. Kendati sampai di Yogyakarta, namun ia tak memiliki suaka sama sekali—tidak ada yang dapat diandalkan untuk meminta pertolongan. ‘Tapi saya percaya pertolongan Tuhan ya Mbak. Saya yakin Tuhan akan membantu saya, dan itu benar terjadi’. Ketika rasa keputusasaan menghampiri, ia tak sengaja bertemu salah seorang warga yang memiliki warung dan diajaknya untuk menjadi pramusaji. Diimingi tempat tinggal dan makan sehari- hari, ia menerima tawaran tersebut meski tak akan pernah dibayar atas keringatnya. Erna tidak berhenti di Yogyakarta, ia sontak kabur dan melanglang buana ke daerah lain dengan berbekal sedikit uang yang berhasil dikumpulkan berkat mengamen.

Meski harus mengarungi tiap daerah secara nomaden tanpa ada jaminan, itu tidak menjadi masalah bagi Erna, Yolla, maupun teman-teman waria migran lain yang saya temui. Mereka justru merasa nyaman ketika keluar dari rumah, jauh dari paksaan, menemukan lingkungan baru (terlebih yang dapat menerimanya), juga lingkar pertemanan baru yang mungkin seperjuangan. Walaupun tidak menjamin mereka tidak akan mendapat ancaman baru lain—yang mungkin saja lebih parah dan menyakitkan—namun bagi mereka itu jauh lebih baik daripada menerima opresi dari orang terdekat dan mereka sayangi (dibaca: keluarga). Dengan bertemu komunitas seperjuangan, mereka serasa kembali menemukan support system dan makna keluarga dalam kehidupannya.

Akhirnya, Aku Dapat Menjadi Aku

Hari demi hari, dilalui dalam kegelapan tanpa penerang. Dengan sedikit harapan untuk dapat diakui, mereka terus melangkah tanpa memerdulikan jaminan hidup. Mereka melakukan apapun agar terus memiliki harapan untuk esok yang lebih cerah. Istilahnya, ‘aku rela melakukan apapun’. Hingga suatu ketika, tibalah mereka di pemberhentian terakhir, Yogyakarta—kota kedamaian, menurutnya. Bertahun-tahun melanglang buana, sampailah mereka pada sebuah balas atas harapan.

Di kota istimewa ini mereka memulai hidup baru, menata, setidaknya menciptakan penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya (versi mereka). Meski harus merangkak dalam waktu lama, setidaknya kini mereka dapat merasakan menjadi manusia biasa dengan ketenangan batin yang kini dimiliki. ‘Alhamdulillah, Mbak, di sini saya dapat menjadi seperti yang saya bayangkan dahulu. Tidak perlu menutupi apapun, hanya menjadi diri sendiri. Tidak ada lagi yang mengancam, kami sudah sangat senang atas keadaan ini yang tentunya Allah ikut campur dalam hal ini.’ Begitulah kiranya, kalimat yang dapat merangkum keseluruhan wawancara saya dengan beberapa teman waria yang ada.

Para waria menekankan perjuangannya untuk menegosiasikan kembali kepemilikan mereka dalam beberapa ruang yang saling berhubungan. Ialah keluarga atau rumah, masyarakat lokal, komunitas waria dan agama atau spiritual (Black, 2002). Dari sini, dapat terlihat bahwa kehadiran pondok pesantren tersebut menjadi salah satu alasan mereka mendapatkan kenyamanan dan ketenangan di Yogyakarta. Kendati bertujuan sama, namun mereka memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pondok kegamaan tersebut. Setiap orang mendefinisikan tempat berdasarkan pengalaman masing- masing. Kebanyakan teman waria di pondok pesantren itu menganggapnya sebagai rumah, tempat bernaung bersama orang-orang terkasih. Dengan pondok ini, setidaknya, mereka masih memiliki pilihan. Adanya pondok pesantren menjadi sebuah variabel yang menciptakan sebuah identitas kolektif antarsesama ‘mereka yang seperjuangan’, menjadi perisai untuk tetap percaya diri dan terus melangkah.

Rere, salah seorang teman waria yang berasal dari Medan, menuturkan betapa beruntungnya ia bertemu komunitas pondok ini. Selain meningkatkan spiritualitas dan kedekatannya terhadap Tuhan, ia juga menganggap bahwa pesantren ini merupakan ruang interaksi yang ramah. Sudah cukup sengsara kehilangan keluarga, berkelana pulau ke pulau, akhirnya menemukan pelabuhan yang sangat tepat. Penolakan dan pengucilan yang pernah ia alami, agaknya sirna ketika kakinya menginjakkan tempat ini. Melalui pesantren ini, Rere mendapatkan kembali hidupnya. Waria yang masih terhitung muda itu menandai Pondok Pesantren Al-Fatah adalah sebuah keberkahan. Setelah mengenal Ponpes Al-Fatah, ia merasa tenang. Sebelumnya, ia sama sekali tidak percaya kehadiran Tuhan, sebab menurutnya Dia tidaklah adil dengan memberikan kesengsaraan hidup yang hampir tak terbendung. Namun, proses bermigrasi tahun ke tahun, mengenal banyak orang dari latar belakang yang berbeda—begitu juga dengan waria-waria lain yang jauh lebih buruk kehidupannya— menyadarkan Rere bahwa hidup harus terus berjalan dan semua merupakan skenario Tuhan. Disadarinya bahwa tak ada lagi bahu bersandar, selain dengan mengenal Tuhannya. Maka itu, pertemuan Rere dengan teman-teman waria lain, khususnya di Pondok Pesantren Waria Yogyakarta mampu menumbuhkan keberanian untuk mengakui dirinya sebagai ‘aku’. ‘Aku jadi sadar, ketika aku mengingat dan kembali ke Allah paling tidak hatiku merasa nyaman. Walaupun itu tidak menyelesaikan masalah di lapangan secara langsung ya, tapi paling tidak pikiran dan batin kita tidak begitu terbebani.’

Spiritualitas agama bermain peran dalam proses pencarian jati dirinya. Saya menyebutnya agama sebagai nilai. Ada suatu materi irrasional yang tumbuh di bawah alam sadar teman-teman waria, di saat mereka kehilangan dunianya, kehilangan dukungan, nilai itulah yang membawanya untuk keep it on spirit. Melebur menjadi cahaya terang yang sukar, bahkan tidak akan pernah padam.

Epilog

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta menjadi saksi untuk mengantarkan kelompok waria pada tataran tentang diri dan spiritualitas keagamaan, serta membawa wacana migrasi untuk mencari pengakuan. Waria tidak hanya berarti wanita pria, namun merupakan kontemplasi pikiran dan jiwa individu atas pengalamannya menjadi berbeda selama masa hidupnya. Menjadi waria menandakan bahwa mereka telah menjadi ‘yang sesungguhnya mereka imajikan’—adanya ketenteraman jiwa ‘bahwa aku ini berbeda, and I’m unique’. Waria selalu berada di bawah ancaman viktimisasi, diskriminasi dan pengucilan sosial, yang pada akhirnya mendorong banyak dari mereka terpaksa meninggalkan negara atau daerah asalnya untuk mencari perlindungan. Tidak sedikit dari mereka mengalami pelecehan fisik dan emosional, penyerangan, pengucilan, pemerasan juga pernikahan heteroseksual paksa. Sering kali ancaman-ancaman ini muncul dari orang-orang di sekelilingnya, baik keluarga maupun lingkungan sekitar—terlebih di tempat asalnya. Mereka menginginkan kebebasan yang ternyata mesti diraih dengan perjuangan. Benar, tak cukup untuk perlindungan, namun juga pengakuan atas diri mereka yang memang ‘tidak sesuai’ denga napa yang masyarakat umum yakini.

Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk pergi, mengarungi bahkan juga membentuk sebuah tempat sesuai imajinya tentang kenyamanan. Tentu, hanya dengan car aini mereka dapat sepenuhnya berhak atas diri sendiri sebagai seorang waria, bebas bergeliat kemana saja tanpa perundungan dari orang-orang terdekat. Proses dinamika yang mereka alami, tidak luput dari keyakinan atas ‘kreasi tangan Tuhan’. Agama sebagai nilai atau aspek spiritualitas turut andil dalam menentukan ‘saya sebagai waria’.


Referensi

    Alessi, E. J., Kahn, S., & Chatterji, S.

2016 The Darkest times of My Life: Recollections of Child Abuse among Forced Migrants Persecuted because of Their Sexual Orientation and Gender Identity. Child Abuse & Neglect, 51(3): 93–105.

    Berger, P. L.

1994 Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES.

    Black, R.

2002 Conceptions of ‘home’ and the political geography of refugee repatriation: between assumption and contested reality in Bosnia-Herzegovina. Applied Geography 22: 123– 138.

    Blunt, A., & Dowling, R. M.

2006 Home. London: Routledge.

    Bradley, J.

1993 Methodological Issues and Practices in Qualitative Research. The Library Quarterly: Information, Community, Policy 63(4): 431-449.

    Brett, O.

2019 Transgender migrations: prostitution, identity and notions of ‘home’ in contemporary

France, Modern & Contemporary France, 27(2): 163-184.

    Carroll, A.

2016 A World Survey of Sexual Orientation Laws: Criminalisation, Protection and Recognition. Geneva: International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA).

    Cavallaro, D.

2001 Critical and Cultural Theory: Thematics Variations. London and New Brunswick: The Athlone Press.

    Elgström, O., & Chaban, N.

2015 Studying External Perceptions of the EU: Conceptual and Methodological Approaches. In Perceptions of the EU in Eastern Europe and Sub-Saharan Africa: Looking in from the Outside. Veit Bachmann & Martin Müller, eds. Pp. 17-33. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

    Foucault, M.

2002a Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

 2002b Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon.

2002c Menggugat Sejarah Ide. Yogyakarta: Ircisod.

    Geertz, C.

1992b Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

    Hardiyanta, P. S.

1996 Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. Yogyakarta: Kanisius.

    Husakouskaya, N.

2016 Queering Mobility in Urban Gauteng: Transgender Internal Migrants and Their Experiences of “Transition” in Johannesburg and Pretoria. Urban Forum, 1-20.

    Kahn, S.

2015a Cast out: Gender Role Outlaws Seeking Asylum in the West and the Quest for Social Connections. Journal of Immigrant & Refugee Studies, 13: 58–79.

    Kahn, S., Alessi, E., Woolner, L., Kim, H., & Oliveri, C.

2017 Promoting the wellbeing of lesbian, gay, bisexual and transgender forced migrants in Canada: providers’ perspectives. Culture, Health & Sexuality, 1-15.

    Koeswinarno

2007 Kehidupan Beragama Waria Muslim di Yogyakarta. Disertasi. Program Pascasarjana  Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

    Kvale, S.

2007 Doing Interviews. London: Sage Publications.

    LaViolette, N.

2009 Independent Human Rights Documentation and Sexual Minorities: An Ongoing Challenge for the Canadian Refugee Determination Process. International Journal of Human Rights 13: 437–476.

    Miller, W. L., & Crabtree, B. F.

1992 Primary Care Research: A Multimethod Typology and Qualitative Road Map. In Doing Qualitative Research. Benjamin F. Crabtree & William L. Miller, eds. Newbury Park, Calif: Sage.

    Rutherford, B.

2011 The uneasy ties of working and belonging: the changing situation for undocumented Zimbabwean migrants in northern South Africa. Ethnic and Racial Studies, 34(8): 1303– 1319.

    Stark, R., & Glock C. Y.

1993 Dimensi-Dimensi Keberagamaan. In Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Roland Roberson, ed. Pp. 291-344. Jakarta: PR Raja Grafindo Persada.

    Shidlo, A., & Ahola, J.

2013 Mental Health Challenges of LGBT Forced Migrants. Forced Migration Review 42: 9–11.

    Tesch, R.

1990 Qualitative Research: Analysis, Types and Software Tools. New York: Falmer.

    Tishler, H. L.

1990 Introduction to Sociology. Chicago: Holt, Rinehart and Winston.

    Vásquez, M. A., & Knott, K.

2014 Three dimensions of religious place making in diaspora. Global Networks, 14(3): 326– 347.

    Witt, A.

2020 Understanding Societal Perspectives on African Interventions A Methodological Agenda. Peace Research Institute Frankfurt (50): 1-17.

    Wong, D.

2014 Time, generation and context in narratives of migrant and religious journeys. Global Networks, 14(3): 306–325.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?