Awas, Asusila Masuk Kampus!


Source: https://traxonsky.com/
Membicarakan tentang ‘perempuan’ tidak akan pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, perempuan selalu menjadi objektifikasi—terutama kemolekan tubuhnya yang selalu dianggap ‘seksual’. Objektifikasi perempuan ini umum dilakukan oleh para lelaki yang dianggap memiliki ‘kuasa’ tinggi. Mereka secara sadar mereka menggunakan power yang dimiliki untuk menjamah tubuh perempuan sesukanya. Mirisnya, fenomena ini terjadi di kampus!

Tempat yang seharusnya menjadi sumber wawasan dan pendewasaan agar kita dapat lebih ‘memanusiakan manusia’—tetapi justru dirusak oleh oknum cabul berkedok ‘ilmu’. Ya, mungkin ia memiliki ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi dari kami sebagai mahasiswa. Tetapi, bukan berarti ia dapat bertindak sesuka hati—dan seolah menggobloki kami hanya karena kami tidak memiliki power lebih darinya. Kecewa, marah, jijik, ingin misuh lah—kesan yang pantas untuk diumpatkan menanggapi hal tersebut.

Hmm, sepertinya sedari tadi kita hanya membahas permukaan tanpa mengetahui apa yang ada di dalamnya. Untuk mempersingkat, jadi langsung saja di bawah saya akan membahas lebih detail terkait sebuah studi kasus objektifikasi perempuan dengan ‘kekuasaan’ dalam instansi perkuliahan. Fenomena ini masih sangat sering dijumpai, maka saya akan menguliknya lebih lanjut dari perspektif perempuan—dan saya yang merasa dirugikan.

Power: Kedok Objektifikasi Tubuh Perempuan

Kekuasaan—kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik. Pengertian yang dicatut dari KBBI tersebut sudah sedikit jelas menggambarkan bahwa kekuasaan merupakan satu hal krusial untuk memperkuat sebuah wacana. Dalam hal ini, seorang kaya kuasa yang dimaksud ialah tenaga pengajar atau dosen.

Dosen, sebagai seorang yang dianggap memiliki ilmu, apalagi ditambah dengan jabatan yang sedang diduduki menandakan bahwa ia memiliki power—sehingga sering disalahgunakan dalam melakukan suatu tindakan. Salah satu tindakan—studi kasus—yang dimaksud di sini tentang bagaimana ia melakukan ‘pelecehan’ terhadap mahasiswi, notabene sebagai pihak lemah. Seseorang yang seharusnya dapat mencontohkan bagaimana kiat memanusiakan manusia, justru bertindak menjijikkan dan tidak sepantasnya.

Mengacu pada beberapa literatur, saya berpendapat bahwa yang namanya ‘kekuasaan’ memiliki peran penting dalam menciptakan dan memperkuat suatu wacana. Seolah-olah dengan kekuasaan, yang namanya ‘salah’ itu dapat dibenarkan. Asalkan punya kekuasaan ia dapat bertindak apapun, termasuk meracuni tubuh perempuan dengan berbagai tindakan asusilanya. Ditambah lagi dengan kuatnya budaya patriarki yang dianut oleh ‘penguasa’ tersebut membuatnya semakin mantap untuk mengobjektifikasikan tubuh perempuan. Men tell us how the world is, women what that is[1]kiranya begitu ucapan yang tepat untuk melambangkan semua wacana ini.

Ada hal yang tidak pantas jika dosen sebagai tenaga pengajar melakukan pelecehan seksual dan secara tidak langsung memperkuat seksisme hanya karena memiliki ‘kuasa’. Pendobrakan kesalahan didik oleh lembaga pendidikan formal terkait pendiskriminasian gender yang seharusnya dapat dilakukan di dunia perkuliahan, kini faktanya justru berbanding terbalik. Perbuatan dosen dalam kasus ini seakan-akan hanya memperkuat teori male gaze untuk mengobjektifikasi tubuh perempuan dan memperlakukan se-enaknya dengan mengatasnamakan power.

Power: Men Can Do Everything

 “Unwanted physical or sexual advances: Touching, hugging, kissing, fondling, touching oneself sexually for others to view, sexual assault, intercourse or other sexual activity”. (Office of Institutional Equity, University of Michigan).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita pahami bersama bahwa semua tindakan yang berkaitan dengan seksualitas dan ketidaknyamanan, pun dengan skin-touch tanpa adanya persetujuan tergolong dalam tindak sexual harassment. Studi kasus yang saya angkat dalam tulisan ini tidak lain ialah perbuatan asusila berupa sentuhan fisik, memandang genit, serta melakukan catcalling yang dilakukan oleh salah seorang dosen terhadap mahasiswinya di kampus—sebut saja Kampus Gajah.

Perbuatan yang saya katakan asusila ini terjadi berulang kali. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan melakukannya di keramaian—entah di kelas, di luar ruangan, sampai di dalam ruang kerjanya. Kejadian pertama ia mulai dengan memberikan pujian terhadap mahasiswi yang tidak terlalu dekat dengannya, bukan tanpa arti, pujian tersebut termasuk dalam salah satu jenis catcalling berkedok. Lebih berani lagi, ia sampai melakukan skin-touch dengan mencolek salah satu bagian tubuh mahasiswi tersebut, sangat tidak sopan!

Tindakan tersebut secara tidak langsung memperkuat wacana bahwa ‘laki-laki yang berkuasa, dapat melakukan segalanya’. Seolah tidak merasa bersalah, dosen cabul itu hanya tersenyum setelah melakukan tindak pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Mungkin, ia merasa tidak bersalah dan tidak takut atau bahkan merasa berhak melakukan seperti itu hanya karena ia dosen—memiliki ilmu yang lebih tinggi, dan ditambah ia memiliki jabatan. Eiyuhhhh!

Kejadian seperti itu sangat disayangkan, mengapa harus terjadi di kampus. Tempat yang seharusnya dapat menjadi ruang pendewasaan bagi setiap orang, juga sebagai ruang pembelajaran bagaimana dapat memanusiakan manusia, justru dinodai oleh aparat-aparat cabul yang hanya gila kekuasaan dan ‘peran’ sebagai laki-laki. Memiliki kekuasaan bukan berarti dapat bertindak apapun—terlebih asusila. Menjadi seorang penguasa atau pemimpin yang bijak ialah mereka yang mampu memperlakukan semua orang di bawahnya sama rata sebagai manusia. Semoga instasi pendidikan tinggi beserta jajaran penguasanya lekas pulih dari penyakit seksual dan buta kekuasaan.

Upaya peneguran pun pasti sudah pernah dilakukan, entah dari pihak mahasiswi terkait secara langsung atau melalui kritik dan saran yang diberikan dalam sebuah medium. Hasilnya? Sama saja! Kejadian terus terulang dengan pola yang sama. Hanya karena laki-laki dan memiliki ‘power’ atau ‘kekuasaan’ menjadikannya sebagai alasan untuk dapat bertingkah seenaknya terhadap perempuan, termasuk mengobjektifikasikan tubuh perempuan—notabene mahasiswinya sendiri. Tidak tahu malu, dasar asu-sila!

Sumber Gambar:

Beberapa Bukti Bahwa Anjing Lebih Baik Dibanding Kucing [Image]. 2017, June 16. https://traxonsky.com/beberapa-bukti-bahwa-anjing-lebih-baik-dibanding-kucing/

Referensi:

Hierro, Graciela  & Ivan Marquez
1994 Gender and Power. Hypatia 9(1): 173-183.

M-Student Life (red)
What is Sexual Harassment?. In Sexual Assault Prevention and Awareness Center. University of Michigan https://sapac.umich.edu/article/what-sexual-harassment (diakses pada 13 Desember 2019; pukul 06.58)

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia DIY (red)
2018 “Gender dan Kekuasaan” https://pkbi-diy.info/gender-kekuasaan/ (diakses pada 13 Desember 2019; pukul 05.16)



[1] Hierro, Graciela and Ivan Marquez (1994) Gender and Power. Hypatia 9(1): 173-183

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?