Belajar dari Biennale Equator #5: Sekali Melihat, Dua Kali Memahami

Potret salah satu karya dalam Pameran Biennale Equator #5: Do we live in the same playground?

Biennale Jogja XV 2019 Equator #5 ‘Indonesia Bersama Asia Tenggara’. Membaca kalimat itu menunjukkan bahwa Biennale kali ini menggandeng negara-negara yang memiliki karakteristik sama—negara dunia ketiga. Kesan tersebut diperkuat dengan konsep ‘pinggiran’ yang ternyata memang diusung sebagai tema payung Biennale kali ini.

Acara yang diselenggarakan dua tahunan ini seolah ingin menjelaskan secara implisit terkait isu-isu yang terjadi di Asia Tenggara. Mungkin, alasan digandengnya Asia Tenggara dalam Biennale Jogja ini seolah ingin menunjukkan bahwa yang namanya ‘pinggiran’ itu sangat lekat dengan Asia Tenggara.

Lantas, mengapa Asia Tenggara? Apakah hanya Asia Tenggara saja yang dapat dikatakan sebagai ‘pinggiran’? Tentunya akan terdapat banyak jawaban variatif untuk menjawab pertanyaan ini. Mari kita melihat dari sudut pandang saya, kebanyakan negara-negara yang termasuk Asia Tenggara tergolong sebagai negara berkembang—memiliki angka ekonomi yang tidak terlalu tinggi, kecuali Singapura. Dengan begitu, citra ‘pinggiran’ ini dapat digunakan untuk menggambarkan posisi negara-negara Asia Tenggara yang sedikit termarginalkan secara ekonomi. Di samping itu, ketika kita membaca lengkap ‘Biennale Jogja XV 2019 Equator #5’—equator—kata yang sudah jelas merujuk pada negara-negara yang berada di garis equator atau khatulistiwa. Pantas saja, jika tidak pernah luput dari Asia Tenggara di samping konsep pinggiran yang diusungnya.

Jika dari namanya saja saya sudah dapat mengandaikan dan meraba makna ‘pinggiran’ yang diusung, apalagi kalau melihat segala instalasi yang ada. Sudah dapat dipastikan akan terdapat lebih banyak lagi pemaknaan ‘pinggiran’ dalam Biennale XV ini. Ya, setiap instalasi seni memiliki konsep ‘pinggiran’ masing-masing. Terkadang, ada beberapa instalasi yang dapat saya tangkap secara jelas konsepnya, tapi ada juga yang tidak. Memang benar, setiap kacamata akan menghasilkan penglihatan yang berbeda pula.

Meskipun memiliki konsep atau pemaknaan ‘pinggiran’ masing-masing dalam setiap isu yang diusung, tetapi semua instalasi tetaplah sama—tidak luput dari berbagai konflik yang ada di negara-negara pinggiran, Asia Tenggara. Semua isu yang tergambarkan dalam sebuah representasi karya seni Biennale, sangat dekat kaitannya dengan apa yang ada di sekitar kita.

Do We Live in the Same Playground?—sebuah tagline yang berhasil membuat saya berpikir ulang, terkait instalasi seni Biennale dengan konsep ‘pinggiran’ yang diusung. Tagline tersebut berhasil mengantarkan saya pada pemikiran: wah iya juga ya, apa benar aku juga berada di tempat yang sama seperti mereka; apa memang benar aku juga termasuk pinggiran, sama seperti mereka; apa bener masih ada hal-hal seperti itu di sekitarku? Terbesitnya pemikiran-pemikiran tersebut membuat saya jauh lebih peka terhadap setiap isu atau kejadian yang ada di Asia Tenggara—termasuk Indonesia, bumi tempat saya berpijak—yang coba diusung oleh Biennale Jogja ini.

Miris, ngeri, sedih, terharu, juga senang—beberapa kesan yang muncul ketika saya memikirkan tagline tersebut sembari saya mencoba memahami makna di balik setiap karya seni yang ada. Jika tujuan awal dari Biennale ini ingin membuka mata pengunjung bahwa: ini lho Asia Tenggara, ini lho tempat tinggal kita, seperti ini lho keadaannya—dapat saya katakan itu semua berhasil.

Itu tadi konsep ‘pinggiran’ yang saya amati dari kacamata penglihatan saya. Berbeda dengan wacana riil yang dibentuk oleh pihak Biennale sendiri—tertera dalam laman resminya biennalejogja.org—menyatakan bahwa pinggiran di sini menjadi jembatan penghubung di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara. Menurut apa yang ada dalam laman resminya, pinggiran di dalam Biennale Jogja tidak hanya membicarakan tentang isu-isu yang melingkupinya, tetapi juga membicarakan bagaimana negara-negara tersebut berbagi permasalahan yang sama.

Salah satu bagian yang ada dalam wacana berjudul ‘Belajar dari Gagasan Pinggiran’ ini tertulis bahwa pinggiran sebagai salah satu sarana untuk memahami kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, terutama perihal masyarakat yang terbelah karena hegemoni kekuasaan tertentu. Hal ini sangat jelas terlihat melalui beberapa instalasi seni, entah itu di Jogja National Museum, Taman Budaya, ataupun Kampung Ketandan—ketiga lokasi Biennale yang sudah saya kunjungi.

Perpecahan masyarakat  karena hegemoni kekuasaan di sini tergambar jelas dalam konflik-konflik politik pemerintahan yang terjadi di Thailand. Banyak instalasi seni yang menggambarkan secara eksplisit terkait ketidakharmonisan antara pemerintahan Thailand dan rakyatnya. Bahkan, Biennale Kampung Ketandan secara jelas mengacu pada isu-isu tersebut. Dari penuturan Arham, salah satu kurator Biennale Jogja, mengatakan bahwa seniman-seniman Thailand ini tanpa takut menggambarkan ke-otoriter-an pemimpinnya secara gamblang dalam Biennale Kampung Ketandan ini. Sekalipun harus mati, mereka tak peduli. Menurut apa yang diceritakan oleh Arham ini membuat hati saya bergidik—oh begitu toh rasanya dibatasi kebebasannya, sampai-sampai tak takut mati demi pemberontakan.

Begitupun yang ada dalam beberapa instalasi seni Biennale Taman Budaya Yogyakarta. Kalau Biennale Kampung Ketandan membicarakan terkait hegemoni kekuasaan pemerintah Thailand, Biennale Taman Budaya Yogyakarta memiliki dua instalasi seni yang menggambarkan hegemoni kekuasaan pemerintah Indonesia. Ya, negeri ini tidak pernah baik-baik saja. Penggambaran tersebut tidak terlepas dari peristiwa G30S PKI yang memang masih mencederai masyarakat Indonesia sejak tahun 1965 hingga saat ini.
Dari situlah dapat kita pahami bersama bahwa sajian seni dua tahunan ini ingin mengangkat kepelikan perpecahan masyarakat sebagai akibat dari perbedaan orientasi politik yang dimiliki. Dengan menyertakan isu-isu politik dan pemerintahan dari beberapa negara—yang katanya marginal—ini, Biennale ingin menunjukkan bahwa ini loh keadaan mereka saat ini. Di tengah masyarakat pinggiran sering terjadi tindas menindas antarkelompok masih sangat relevan. “Satu kelompok tertindas menindas kelompok tertindas lainnya, melahirkan pusaran konflik yang tidak ada habisnya”—begitulah kurang lebih bunyi kutipan dari para kurator Biennale Jogja XV ini.

Beberapa pernyataan terkait pinggiran di atas pastinya semakin membuat kita semua penasaran, bagaimana sih sebenarnya isi di dalam pameran seni ini. Apa yang menarik? Mengapa banyak orang yang berbondong datang dengan tak lupa memotret dan memajangnya di akun media sosialnya? Apakah sebenarnya makna di balik instalasi seni yang katanya menarik itu? Apa semua pengunjung yang turut serta memajang karya tersebut di media sosialnya juga paham bagaimana makna di balik karya seni itu? Apakah ada nilai-nilai tradisi yang diangkat dalam suatu karya seni Biennale ini? Mari kita cari tahu dan ulas bersama!

Pameran Seni Biennale: Jogja National Museum—Paling Memukau, Katanya.

30 Oktober – 30 November 2019, merupakan rentang tanggal yang tertera pada website dan brosur resmi Biennale Jogja XV: Do We Live in the Same Playground.  Satu bulan penuh instalasi seni ini dipamerkan, waktu yang cukup lama ya. Tidak hanya waktu pameran yang lama, tapi pameran ini juga gratis—entah apa  yang mendasarinya, ah mungkin agar semua kalangan—mulai dari kelas atas hingga kelas bawah—dapat mengunjungi tanpa harus dibayangi oleh upah komersial. Meskipun demikian, saya baru mengunjungi Biennale ini satu minggu setelahnya.

Biennale Jogja XV Equator #5 ‘Indonesia Bersama Asia Tenggara’: Do We Live in the Same Playground . Awalnya saya tidak begitu tertarik ketika membaca tag line yang ada. Baru ketika melihat beberapa instagram story milik teman-teman yang sengaja memotret diri berlatar belakang instalasi Biennale ini, saya mulai tertarik untuk mencari tahu lebih dalam. Laman resmi Biennale Equator #5 muncul dalam histori daftar pencarian google di laptop saya, kata demi kata mulai saya lahap habis—ya, paling tidak sebagai studi pustaka sebelum saya menyambanginya secara langsung.

Tidak hanya cukup membaca, saya juga mencari tahu informasi ini melalui beberapa teman yang sudah mengunjunginya—paling tidak sebagai testimoni lah. Kebanyakan dari mereka menyarankan saya untuk mengunjungi Jogja National Museum, karena pusat instalasi seni Biennale tahun ini berada di sana. Maka dari  itu, saya tidak ragu untuk segera melangkahkan kaki memasuki Jogja National Museum.

Di bawah terik matahari pada hari kamis saya bersama salah seorang kawan—Tiara—mantap menapakkan kaki mengunjungi Jogja National Museum untuk mengamati keseluruhan instalasi Biennale di sana. Sembari mengeluarkan ponsel untuk mengalihfungsikannya sebagai tustel, seseorang menyambut kami dengan senyum lebarnya dan berkata “Silahkan diisi daftar hadirnya dulu, Kak”—oleh salah seorang volunter yang ada.

Sebelum kita memasuki cerita yang lebih jauh, saya ingin mengingatkan sebuah teori dalam antropologi, bagaimana hidup sebagai etnografer.  Dalam buku Alive in the Writing karya Kirin Narayan, disebutkan tentang bagaimana cara melakukan observasi partisipan ketika sudah secara penuh sadar posisi sebagai etnografer. Ketika kita sudah memposisikan diri sebagai seorang etnografer, maka wajib hukumnya kita dituntut untuk lebih peka. Penuntutan kepekaan di sini maksudnya ialah kita harus menggunakan seluruh indera tubuh kita untuk melihat. Tidak hanya mata—tetapi telinga, hidung, hingga rabaan kulit pun harus terlibat. Dengan kata lain, kita harus fokus untuk mencatat rekaman penglihatan dari seluruh indera yang ada.

Oke, kembali lagi. Selesai kami mengisi daftar hadir pengunjung, kami bergegas menuju instalasi seni yang ada. Langkah demi langkah menapaki setiap ruangan yang ada. Benar, tiap karya punya cerita. Sekilas cerita tersebut ditorehkan dalam sepetak kecil kertas glossy dan tertempel pada tembok setiap instalasi tersebut. Sepetak kertas kecil itu dapat menjadi kunci untuk mengantarkan kami pada gagasan dan perspektif yang akan lebih luas ketika kami mulai mengamati setiap detail fragmen seni nantinya.

Meskipun demikian, tetap saja, kertas kecil tersebut tidak lah cukup untuk membuka perspektif kami. Dibutuhkan pula kacamata lain untuk memahami fragmen-fragmen seni tersebut, yaitu melalui exhibition guide. Namun kenyataannya bukan informasi substansial yang kami terima, justru hanya mendapat jawaban waduh saya nggak tahu, Mbak”. Halah payah.

Menggerutu kesal tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan begitu, kami melanjutkan tapakan kaki pada ruang-ruang berikutnya. Sepanjang lorong gedung tiga lantai tersebut dihiasi oleh banyak ornamen-ornamen bekas yang melambangkan kesan ‘kampungan’—seperti kursi roda usang, sepeda motor tua, ontel jengki, hingga potongan seng berkarat terpampang secara nyata. Tidak pernah tahu apa makna sebenarnya pemasangan ornamen tersebut, apakah itu juga bagian dari karya  seniman, atau ada maksud lain.

Pertanyaan tersebut tersimpan rapi dalam barisan memori otak saya. Hingga tiba pada kunjungan ketiga saya ke Jogja National Museum—tepatnya pada saat kunjungan mata kuliah Apresiasi Seni—saya baru mendapat jawaban pastinya. Ternyata, ornamen-ornamen tua tersebut sengaja diletakkan untuk menambah kesan pinggiran dalam Biennale kali ini. Tidak tanggung-tanggung, ornamen usang tersebut dibawa langsung oleh salah seorang kurator yang sedang melakukan observasi partisipan di suatu kampung terpencil—yang sayangnya saya lupa di daerah mana.

Tatanan artistik yang bisa dibilang sangat niat ini berhasil memukau saya. Banyaknya instalasi seni yang sangat unik dan unexpected—terutama hasil karya seniman residensi di lantai tiga ini layak untuk disebut sebagai lokasi Biennale yang sangat menarik. Bahkan, dari ketiga lokasi Biennale yang sudah saya kunjungi pun, Jogja National Museum ini adalah yang paling memukau entah dari nilai estetisnya ataupun dari nilai tradisi dan sosial yang dibawakan.

Instalasi Menarik? Yang 18+ Lah

Jika ditanya mana yang paling menarik dalam Biennale Jogja National Museum kali ini sulit untuk menjawabnya. Tak lain karena ketika saya coba untuk memikirkan satu instalasi seni paling menarik, pasti akan terdapat gejolak pula yang muncul seperti: ah engga ding, yang ini yang paling menarik—ehhh tapi yang ini juga. Begitu terus, sampai akhirnya saya menyimpulkannya berdasarkan pilihan teman-teman terkait instalasi seni Biennale yang diangkat sebagai topik tugas perkuliahan Komposisi Menulis Kreatif. Kebanyakan dari mereka tak lain mengangkat karya seni yang bertuliskan 18+.

Ya apalagi kalau bukan itu, konten seksualitas selalu menjadi topik menarik untuk dibahas. Eitsss, tunggu dulu. Bukan berarti yang bertuliskan 18+ itu selalu mengandung konten sekual. Jangan mudah tertipu, itu hanya tempelan. Sebanding dengan apa yang dikatakan salah seorang exhibition guide bernama Agung—yang mengatakan bahwa tempelan tersebut bisa saja hanya representasi ‘seseorang yang memiliki kuasa dapat memengaruhi cara berpikir seseorang’. Dari pernyataan tersebut saya lebih setuju bahwa lambang 18+ itu merupakan hegemoni kekuasaan dari mereka yang memiliki power untuk menempelkan tulisan tersebut.

Tidak semua 18+ itu seksualitas. Salah satu instalasi seni yang dapat digunakan sebagai permisalannya ialah karya seniman Manila, Nerisa del Carmen Guevera, berjudul Elegy 9: The Ghost of the Sea. Sebuah ruangan di lantai tiga, bertutup kain putih, dan bertuliskan 18+. Begitulah kiranya yang dapat menggambarkan instalasi seni itu. Sebelum memasuki ruangan dingin itu saya sudah menyimpulkan ‘oh, pasti ini ada unsur seks-nya’—hanya karena membaca tempelan kertas kecil 18+ itu. Ketika masuk, kami langsung disuguhkan dengan sebuah balon raksasa berwarna putih dengan cat merah dan hitam di tengah seolah menggambarkan lubang vagina wanita.

‘Ahh pantas saja bertuliskan 18+, lha wong ya kayak gini bentuknya’—batinku setelah melihat karya tersebut pertama kalinya. Walau secara visual sudah terlihat bahwa balon tersebut berbentuk layaknya vagina, tapi tetap saja saya masih kurang mengerti maknanya. Sepetak kecil kertas yang tertempel di tembok berisikan narasi singkat mulai saya baca untuk mendapatkan informasi yang mungkin bisa saja lebih detail.

Balon yang semula saya pikir sebagai representasi vagina ini ternyata tidak berhubungan sama sekali dengan narasi deskriptifnya. Jika dilihat dari narasi yang diberikan ruang metaforis ini menggambarkan sebuah elegi, ruang antara yang diam dan yang dibicarakan. Untuk mewakili ketegangannya pun dihadirkan sebuah balon besar tersebut sebagai Kauao yang merupakan hantu laut. Sampai di sini saja sudah menimbulkan perbedaan persepsi antara kacamata saya dan narasi yang diberikan. Perbedaan ini bukannya memperluas wawasan saya, melainkan justru menimbulkan kerancuan dalam otak saya.

Ruangan dingin tersebut tidak hanya berisikan sebuah balon raksasa yang pada awalnya saya pikir sebagai vagina itu. Terdapat empat layar yang menayangkan seri video berjudul Infinite Gestures: Tanggul (Break Water). Keempat video tersebut berlatarkan pantai dengan deburan ombak dan menggunakan tone warna biru putih—representasi kedamaian bagi siapapun yang melihatnya. Tambahan seri video ini jelas semakin memperumit persepsi saya akan karya ini.

Sebuah kesederhanaan, mengandung berbagai kerumitan. Begitulah kiranya jika saya boleh jujur. Saya terus coba mencari tahu melalui berbagai sumber website maupun berbagai persepsi yang dilihat dari kacamata teman-teman saya, ya tapi hasilnya sama saja. Kebanyakan dari mereka sama seperti saya, antara bingung atau hanya menganggapnya sebuah karya seksualitas tanpa makna.

Kerumitan itu berputar rapi dalam otak setiap mencoba mengingatnya. Sampai akhirnya pada kunjungan ketiga saya ke Jogja Natinal Museum—bersamaan dengan kunjungan lapangan Apresiasi Seni—barulah saya mengerti makna yang sesungguhnya di balik The Ghost of the Sea itu. Menurut penuturan Agung—seorang exhibition guide yang memandu kami—instalasi seni ini merupakan karya hasil residensi Sulawesi bersama tim seniman lain. Sebenarnya, karya seniman Manila ini mengandung dua unsur cerita.

Pertama, sebuah balon raksasa yang pada awalnya saya pikir itu vagina merupakan gambaran sebuah mata dari hantu laut. Masyarakat setempat dinilai memiliki kepercayaan lebih terhadap laut, dan dalam laut itu sendiri terdapat suatu monster yang sebagai penjaganya. Nah, balon raksasa inilah yang menggambarkan bentuk mata dari hantu laut yang dipercaya tersebut.

Baru sampai sini saja saya sudah salah menyimpulkan. Lantas, saya langsung menanyakan jika karya seni ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan seksualitas, maka mengapa harus ditempelkan peringatan 18+ itu. Agung menjelaskan bahwa itu semua termasuk strategi dari seniman yang ingin menunjukkan hegemoni kekuasaan di sini. Seniman tersebut ingin memperlihatkan bagaimana seseorang yang dianggap memiliki ‘power’ atau kekuasaan dapat mengubah perspektif atau cara berpikir kita—termasuk orang-orang yang berhak menempelkan 18+ itu. Hanya orang-orang berkuasa tertentu yang dapat menempelkan peringatan kedewasaan itu, hingga secara langsung dapat memengaruhi cara berpikir siapapun yang melihatnya.

Kedua, terkait keempat seri video yang diputar dalam ruangan ber-AC itu. Sejalan dengan apa yang dikatakan Agung, video tersebut menggambarkan permasalahan yang ada di desa pesisir Pambusuang, Sulawesi Barat—ohh, by the way, saya menyimpulkan bahwa kaum marginal di sini ya mereka wilayah pesisir. Keempat video itu memiliki cerita yang berbeda, mulai dari nama pemimpinnya, hingga permasalahan yang paling krusial di pesisir pantainya—tidak lain yaitu sampah.

Selain dua fragmen tersebut, dalam ruang putih yang dingin itu terdapat sebuah tatanan garam—ada yang remuk, ada yang masih utuh. Penambahan fragmen garam ini tidak saya jumpai pada kunjungan saya sebelumnya. Ketika saya tanya, ternyata garam-garam ini digunakan sebagai properti ritus penampilan yang dilakukan Nerisa dua hari sebelumnya di Jogja National Museum ini. Sisa dari garam yang digunakan itu kemudian diletakkan di sisi kanan balon raksasa tersebut.

Untung saja saya mendapat penjelasan yang sangat detail ini dari Agung. Coba saja jika saya tidak mendapatkannya, mungkin sampai saat ini saya masih mengira bahwa semua karya 18+, termasuk karya ini, merupakan instalasi seni seksual.

Identitas dalam Seni: Sebuah Pemekaran yang Tersembunyi

Masih berbicara mengenai hantu laut karya Nerisa del Carmen Guevera, tapi bedanya kali ini saya akan melihat dari sisi identitas yang tersembunyi di balik karya ini. The Ghost of the Sea merupakan buah tangan dari Residensi Kelana yang diikuti oleh Nerisa—tepatnya di Desa Pambusuang, Balanipa, Polewari Mandar, Sulawesi Barat. Ketika mendapati silabus terkait seni dan identitas diri saya langsung teringat instalasi seni ini. Alasannya tidak terlepas dari bentuk yang sederhana, sehingga saya yakin di balik itu semua terdapat cerita yang kompleks—termasuk nilai tradisinya.

Pambusuang—desa pesisir yang terletak di Provinsi Sulawesi Barat. Awalnya, saya tidak paham struktur geografis desa ini, hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencari beberapa literasi terkaitnya. Jika dilihat dari logaritma google yang muncul ketika mengetikkan ‘Pambusuang’ pasti tidak terlepas dengan tradisi lautnya—ya pantas sih kan desa ini merupakan desa pesisir.

Lebih lanjut lagi, dalam sebuah jurnal yang berjudul Kosmologi Laut dalam Tradisi Lisan Orang Mandar di Sulawesi Barat, menyebutkan secara detail terkait kepercayaan masyarakat setempat terhadap laut. Pambusuang secara historisnya merupakan desa yang mayoritas penduduknya muslim dan dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Mandar, penghasil Panrita—ulama dan cendekiawan muslim di tanah Mandar—dan juga tempat lahirnya para inspirator ulung di bidangnya. Di samping kebudayaannya yang lekat dengan nilai-nilai Islam, desa ini juga memiliki kosmologi laut yang sangat erat. Kosmologi laut itu disampaikan secara turun menurun melalui tradisi lisan.

Nelayan Mandar meyakini bahwa laut memiliki kekuatan gaib atau ‘penjaga laut’—seperti yang coba digambarkan oleh Nerisa del Carmen Guevera melalui instalasi seni ini. Menurut salah satu jurnal aksara yang terbit tahun 2017, para nelayan ini senantiasa menghormati dan memperlakukan sang ‘penjaga laut’ demi kebaikan mereka. Literatur ini juga menjelaskan bahwa para ponggawa lopi ‘pawang perahu’ selalu mengingatkan nelayan agar berhati-hati di laut sebagaimana bunyi ungkapan berikut

“Mua nasauwi  tau dzi sasiq dipacoai papinaqditta, dipacaoai toi kedzokedzota, daleqba mappapia anu mikkeallaq-allaq, battauanna anu andiang sitinaya nadzipogau”—Kalau hendak melaut, hendaknya membenahi diri, memperbaiki perilaku, dan jangan melakukan perbuatan tercela di laut.
Nasihat tersebut mereka warisi dari ajaran atau ilmu yang diperoleh dari para ulama yang memiliki pengaruh kuat dan dihormati di kalangan masyarakat nelayan Mandar. Mengacu pada literatur ini juga dijelaskan bahwa para pekerja laut itu memiliki pemahaman tasawuf, terutama di kalangan ponggawa. Ajaran tersebut biasanya berkaitan dengan pemahaman dan keyakinan para nelayan tentang Tuhan, khususnya paham Tallu Tammalaesang dan Dua Tammassarang—tiga tak akan hilang dan dua takkan terpisahkan.
Kisah historis Desa Pambusuang terkait tradisi lautnya ini coba diangkat dalam sebuah instalasi seni oleh Nerisa del Carmen Guevera dan dipamerkan pada sebuah ruangan lantai tiga Jogja National Museum dalam perhelatan Biennale kali ini. Dari kacamata saya, Nerisa mencoba untuk menampilkan sebuah tradisi yang mampu bertahan hidup di tengah ajaran nilai-nilai Islam masyarakatnya. Sangat menarik memang bagi para antropolog untuk menelisiknya lebih dalam.
Tidak terasa sudah sampai pada ujung akhir saya bercerita. Pada intinya, pameran seni Biennale ini sengaja menggandeng ‘pinggiran’ dan segala kepelikannya—terutama di negara-negara equator, yang memang secara ekonomi masih terpinggirkan. Biennale mencoba untuk membuka lebar kacamata global terkait semua permasalahan yang sedang terjadi di sekitar kita, yang sudah mulai terlupakan. Setiap karya seni yang dipamerkan selalu memiliki banyak cerita di baliknya. Satu pesan penting di sini ialah kita sebagai manusia—khususnya etnografer—harus menjadi lebih peka dan memiliki banyak paradigma ketika melihat sesuatu. Jangan mudah menyimpulkan apa yang terlihat oleh mata, karena terkadang apa yang terlihat itu tidak berbatas. Kita sebagai makhluk liminal, harus membiasakan diri untuk berkontemplasi dengan segala fragmen yang ada di alam ini—salah satunya melalui estetika seni, seperti yang ingin ditunjukkan dalam Biennale Jogja XV Equator #5 ‘Indonesia Bersama Asia Tenggara’: Do We Live in the Same Playground 2019.

Daftar Pustaka

Ardian, Dwi
2018 “Pambusuang, Desa Para “Pejuang” dan Pecinta Bola”. In Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/ard_almandary/5b2ae9b1cf01b441f23c0e62/pambusuang-desa-bola-dan?page=all (diakses pada 4 Desember 2019; pukul 21.18)
Narayan, Kirin
2012 Alive in the Writing: crafting ethnography in the company of Chekhov. London: The University of Chicago Press, Ltd.
Sunarti, Sastri
2017 Sea Cosmology in Mandar’s Oral Tradition of West Sulawesi. Jurnal Aksara 29(1): 33-48. (web) aksara.kemdikbud.go.id.
Tim Penulis Magdalene
2019 “Biennale Joga EQUATOR #5 2019: Do We Live in The Same Play Ground?”. In Magdalene.co. https://magdalene.co/story/biennale-jogja-2019 (diakses pada 4 Desember 2019: pukul 15.47)
Tim Kurator Biennale Jogja Equator #5
2019 BELAJAR DARI GAGASAN “PINGGIRAN”. In Biennalejogja.org. https://biennalejogja.org/2019/mengapa-pinggiran/ (diakses pada 2 Desember 2019; pukul 16.37)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?