Lukisan Kamasan: Kontemplasi Kesakralan dan Komoditas, Mana yang Tepat?



Apa yang menarik dengan Bali?—pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk ditanyakan, karena mayoritas orang pasti sudah dapat menduga bagaimana jawabnya. Ketika membicarakan romansa keindahan dan daya tarik Pulau Dewata ini, pasti tidak akan ada habisnya. Tulisan ini saya tujukan untuk sedikit mengulik kisah romansa keindahan pulau ini—dengan menggunakan studi literatur. Sebuah keindahan, kalau Orang Bali  menyebutnya tidak akan pernah hanyut dalam arus pengglobalan dunia—yang kata orang Bali sih bersifat ‘selamanya’. Keindahan abadi itu tidak lain ialah Lukisan Wayang Kamasan.

Lukisan Wayang Kamasan—atau yang biasa disebut dengan Lukisan Kamasan—merupakan salah satu gaya lukisan yang sampai saat ini masih mempertahankan nilai-nilai filosofis spiritual dan budaya di samping nilai estetikanya. Seni lukis gaya Kamasan merupakan citra dari seni lukis tradisional Bali[1]. Ketika suatu benda bernamakan ‘tradisional’, itu menandakan di dalamnya masih mengandung nilai-nilai tradisi, barang kepercayaan ataupun kebudayaannya. Meskipun memakai wacana ‘tradisional’, Lukisan Kamasan ini tidak pernah dianggap ndeso, ia tetap eksis dan cukup digemari—walaupun zaman sudah berubah, memasuki era yang modern itu nomor satu. Begitu kiranya premis yang saya dapat ketika membaca sebuah narasi lama terkait Lukisan Kamasan ini.

Di Balik Nama ‘Kamasan’[2]

Lukisan gaya Kamasan—dari namanya saja sudah terlihat di mana asal dan berkembangnya lukisan ini. Ya, benar, Desa Kamasan, merupakan salah satu dari 53 desa yang terletak di Kabupaten Klungkung. Desa yang berjarak sekitar 43 km dari Denpasar ini memang terkenal dengan pesona lukisannya sejak zaman kerajaan masih berjaya. Hal itu lah yang menjadi pengaruh besar terhadap penamaan desa Kamasan ini—yang seperti kita tahu bahwa keberadaan suatu desa pada umumnya mempunyai nama yang mengandung makna tertentu.

Kamasan. Begitulah ejaan resmi desa memesona ini. Menurut sejarah yang tercetak dalam laman resmi Desa Kamasan, nama ‘Kamasan’ atau ‘Ka-emas-an’ adalah nama yang cukup tua bagi komunitas orang-orang yang memiliki pekerjaan dalam bidang memande yaitu Pande Mas—sesuai dengan nama salah satu banjar di Desa Kamasan. Dalam laman ini juga dituturkan mengenai bukti arkeologis yang ditemukan berupa tahta-tahta batu, arca menhir, lesung batu, palungan batu, monolit yang berbentuk silinder, batu dakon, lorong-lorong jalan yang dilapisi batu kali pada tahun 1976 dan 1977. Dengan ditemukannya bukti-bukti tersebut, menandakan bahwa komunitas Pande Mas tersebut sudah cukup tua umurnya. Dari bukti arkeologis itu pun dapat diketahui bahwa Desa Kamasan juga mengalami tradisi megalitik.

Tradisi megalitik ini telah diserap oleh para undagi dan para pande sejak kerajaan berpusat di Gelgel (1380-1651) . Saat zaman ini lah produk seni ukir pada logam emas atau perak yang berbentuk pinggan mulai dijadikan perhiasan Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel. Selain itu, juga berkembang seni lukis wayang untuk pelengkap dekorasi di tempat-tempat suci (pura) atau bangunan di kompleks keraton. Sejak pemegang tahta II berkuasa yaitu Dalem Waturenggong (1460-1550) kerajaan Gelgel mencapai puncak kemasyuran, Kamasan dikenal pula sebagai desa pengrajin.

Pada masa ini lah kesenian di Bali secara umum mengalami masa pencerahann karena sang rajanya sendiri sangat menyukai seni-budaya. Benar, sudah menjadi hukum alam bahwa ketika seorang pemimpinnya menyukai seni, maka organisasi yang disetirnya pun akan memiliki keindahan tersendiri. Masa kepemimpinan Waturenggong, saat di mana seni dipandang sebagai unsur penting dalam menjaga keselarasan—seni itu sakral. Dengan demikian, sudah menjadi tugas penguasa untuk melindungi serta memelihara kesenian—bahkan, dampaknya pun masih terasa hingga saat ini.

Penamaan Desa Kamasan dirasa sudah sangat sesuai untuk menggambarkan apa yang ada di dalamnya. Pesona akan peninggalan-peninggalan masa lalu nyatanya masih relevan untuk dibicarakan hingga saat ini. Berkembangnya seni ukir di atas logam emas dan perak membuat corak lukisan gaya Kamasan ini memiliki dominan warna emas, coklat, merah, dan hitam—yang mana ketika emas mendominasi maka akan menimbulkan kesan mewah dan mahal. Ditambah dengan penggambaran wayang di dalamnya menandakan ada sebuah cerita kehidupan spiritual yang ingin untuk disampaikan.

Lukisan Wayang Kamasan: Dari yang Dulu, Hingga Sekarang

Membicarakan ‘yang dulu’ pasti tidak terlepas dari perbincangan historisnya—sangat rumit pastinya. Bagaimana tidak, sejarah pada dasarnya diungkapkan tidak hanya secara kronologis, tapi juga diakronis. Sama kisahnya ketika ingin mengungkapkan sejarah lukisan Kamasan ini. Kisah lampau lukisan ini tidak terlepas dari bagaimana sejarah penamaan Desa Kamasan di atas. Hadirnya Desa Kamasan dengan balutan kejayaan masa silamnya seakan turut menghadirkan romansa tapak tilas lukisan gaya Kamasan ini. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa Lukisan Kamasan ini hadir bebarengan dengan terkuaknya kejayaan Desa Kamasan.

Lanjut, sudah bosan rasanya menyusuri sejarah, sejarah, sejarah—entah Desa Kamasan ataupun Lukisan Kamasannya. Kini saatnya kita mengulik tentang bagaimana sih sebenarnya rupa pesona dari lukisan yang didominasi epos ini.

‘Jika Anda tertarik mencari dan membeli Lukisan Kamasan, ya datang ke Desa Kamasan’. Pernyataan yang sederhana, namun benar adanya. Lukisan Wayang Kamasan hanya dipasarkan di Desa Kamasan, kita tidak akan mendapatinya di luar desa tersebut. Lalu, apa yang menarik ketika kita sudah ke sana? Banyak! Tidak hanya untuk membeli dan melihat, tapi di Desa Kamasan ini pengunjung dapat langsung turut serta belajar dasar-dasar melukis Kamasan langsung dengan seniman yang sangat terampil di sana.

Lukisan ini dibuat di atas kanvas berbahan blacu kasar, tetapi telah dihaluskan permukaannya. Uniknya, sedikit banyak seniman Kamasan ini masih menggunakan pensil yang terbuat dari lidi pohon aren untuk membuat sketsanya. Sedangkan untuk perwarnanya masih memakai batu pere (gamping). Batu gamping yang akan digunakan sebagai pewarna, harus dicelupkan terlebih dulu ke dalam air. Selanjutnya, batu dikikis sampai menghasilkan serpihan berupa bubuk, yang kemudian difungsikan sebagai tinta berwarna khas kuning kecokelatan sebagai dasar warna lukisan ini[3]. Ya, zaman boleh berubah, tapi konsistensi teknik pelukisan ini tetap masih ada yang mempertahankannya—walaupun sudah jarang sih mungkin.

Teknik pembuatan sebagian telah mengalami perubahan, lantas bagaimana dengan fungsinya? Mungkin pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah ya. Jelas, ada perubahan yang cukup signifikan dalam fungsinya. Pada zaman dahulu, Lukisan Kamasan tidak hanya digunakan untuk tatanan dekorasi saja, tetapi juga memiliki fungsi atau nilai sosial dan spiritual. Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa lukisan ini identik dengan corak pewayangan—diambil dari epos yang beredar di masyarakat Hindu Bali—dengan kata lain merupakan epos yang dilukiskan dalam kanvas. Dengan begitu, pastinya setiap lukisan ini pasti memiliki cerita bermakna sosial dan spiritual. Bahkan, yang terpenting dalam penciptaan karya seni ini bukanlah nilai estetikanya, melainkan makna cerita yang terkandung. Akan tetapi, sekarang pesona lukisan ini cenderung lebih dikomodifikasi menjadi suatu komoditas bernilai ekonomis—ya, walaupun tidak berarti meninggalkan makna di baliknya.

Memaknai Lukisan Kamasan Sebagai Komoditas Seni Bernilai Religi

Keindahan di Bali tidak hanya terkait dengan kultur sosial dan kepercayaan yang ada. Hindu, sebagai agama mayoritas penduduk Bali, memiliki keharusan bahwa keseimbangan antara seni dan agama ini sangat penting. Seni merupakan suatu substansi yang dekat dengan keindahan, sedangkan keindahan dinilai dapat menciptakan suatu harmonisasi di antara hubungan sosial yang ada. Dengan begitu, hubungan antara berupa agama dan kepercayaan ini harus seimbang dengan seni yang ada—sebagai satu kesatuan kontrol sosial masyarakat.

Keindahan Bali sebagai suatu nilai religi tidak hanya tercermin dalam performing arts-nya saja, tetapi juga berlaku pada Lukisan Kamasan ini. Lukisan Kamasan menggambarkan suatu cerita pewayangan di mana mengandung banyak nilai tradisinya, entah berupa kultural, sosial, ataupun kepercayaan. Pada intinya lukisan ini menggambarkan bagaimana sebenarnya norma-norma dalam masyarakat itu dapat berjalan harmonis. Seni dianggap sebagai suatu media paling efektif untuk turut mengontrol kehidupan sosial dan religi masyarakatnya. Di samping itu, masyarakat Bali sendiri sangat dekat dengan seni dan keindahan, entah berdasarkan ajaran sosial maupun kepercayaannya. Seperti yang diungkapkan oleh seorang antropolog modern, Miguel Covarubias (1937): “Everybody in Bali seems to be an artist. Coolies and princes, priests and peasants, men and women alike, can dance, play musical instruments, or carve in wood and stone.”[4]

Meskipun seni lukis pewayangan ini sangat mementingkan ajaran spiritual-kultural untuk ditampilkan, tetapi bukan berarti hakikat keindahan sebagai sebuah komoditas pun ditinggalkan. Seni Lukis Kamasan ini juga eksis di ranah ekonomis. Bahkan, lukisan ini mampu menampilkan Desa Kamasan sebagai sasaran wisata para turis—tidak lain karena keindahan lukisan ini. Lukisan ini mampu memulai debutnya sebagai komoditas untuk diperjualbelikan kepada turis—karena memang banyak yang peminatnya, apalagi pada era tahun 90an. Bahkan, menurut sebuah berita yang diterbitkan oleh Balipost.com[5], pada tahun 1990an banyak turis yang tidak segan-segan untuk membeli lukisan dengan harga puluhan juta.

Lukisan Kamasan sebagai sebuah komoditas terkenal dengan kemewahan harganya. Bagaimana tidak, lukisan ini memiliki makna yang saya katakan sangat sakral di setiap pembuatannya, bahkan kerumitan pola lukisan ini juga tidak diragukan lagi—sangat rumit tentu. Dengan begitu, sudah menjadi kewajaran ketika sebuah Lukisan Kamasan karya Nyoman Mandra—salah satu seniman Kamasan yang sangat legendaris—dihargai hingga 2 miliar rupiah. Harga lukisan ini bervariasi sesuai bahan, ukuran, tingkat kerumitan, dan umur lukisan.

Dulu Jaya, Sekarang Redup

Lukisan Wayang Kamasan sebagai sebuah komoditi ekonomi bagi para senimannya mencapai kejayaan pada era thahun 90-an. Pada masa ini Desa Kamasan sebagai wisata yang dikunjungi oleh turis tidak hanya  sekadar untuk melihat, tetapi juga membeli lukisan tersebut tanpa pikir panjang. Para seniman pun dapat meraup pendapatan cukup besar hanya dengan menjual lukisannya.

Itu dulu, sekarang mah udah beda. Menurut penuturan dua seniman, Nyoman Sukini dan Mangku Muryati—dalam sebuah artikel terbitan radarbali.jawapos.com[6]—daya jual beli Lukisan Wayang Kamasan saat ini tengah mengalami penurunan drastis. Wisatawan hanya sekadar memiliki minat untuk melihat tanpa mengapresiasi dengan cara membelinya. Penurunan minat wisatawan ini mengancam regenerasi seniman Kamasan, dikhawatirkan generasi muda saat ini tidak lagi berminat untuk tetap melestarikannya karena secara ekonomis sudah tidak menjanjikan. Faktor lain yang memengaruhi penurunan minat wisatawan terhadap jual beli Lukisan Kamasan ini juga disebabkan oleh Bom Bali tahun 2002 silam—menurut penuturan dua seniman tersebut, masih dalam berita yang sama.

Jika dilihat dari paparan tiap baris kalimat dalam sub-bab ini sangat kontradiktif memang dengan apa yang tertera pada pernyataan saya di atas. Pesona seni Lukis Kamasan kini tidak lagi dapat membawa kembali romansa kejayaan masa lalu seutuhnya. Entah dari fungsinya sebagai sarana keagamaan—sakral—ataupun dari fungsi ekonomisnya. ‘Semua tidak lagi sama’. Ya, kalimat tersebut yang mungkin cocok untuk menggambarkan keadaan seni lukis ini. Zaman sudah berubah, itulah kenyataan yang memang sedang dihadapi saat ini. Eksistensi lukisan ini pun menjadi taruhannya. Anak muda tak lagi memiliki keinginan untuk meneruskannya karena dianggap sudah tidak menjanjikan lagi dari segi ekonomis.

Ada penanaman nilai yang salah di sini. Begitu pendapat saya menanggapi keredupan eksistensi seni lukis ini. Redup di sini bukan hanya dari perspektif ekonomi saja, tetapi juga aspek yang lain. Sejatinya Lukisan Wayang Kamasan ini bukanlah sekadar karya untuk penggalian keindahan dan kesempatan ekonomisnya saja, dari informasi yang selama ini saya baca dan temukan, tujuan utama munculnya lukisan ini ialah sebagai benda ritual. Perlu ditekankan lagi bahwa dalam karya seni ini mengandung banyak aspek di luar aspek keindahan dan ekonomisnya, yaitu aspek filosofi, spiritual atau religi, teknis, sosial, dan budaya. Kemudian, di antara beberapa aspek tersebut, aspek spiritual-kultural lah yang paling ditonjolkan di sini. Namun, kenyataan yang ditemukan saat ini justru sebaliknya. Orientasi yang diturunkan dari para seniman tua kepada generasi muda saat ini ialah aspek ekonomi yang terkandung di dalamnya, sehingga ketika peminat lukisan ini meredup, eksistensi Lukisan Wayang Kamasan ini turut meredup. Ya, maklum sih, kita hidup saat ini memang dituntut untuk rasional, tapi bukan berarti juga harus mengesampingkan ritus-ritus yang ada di dalamnya.

Ketika kejayaan Lukisan Wayang Kamasan dengan aspek spiritual-kulturalnya meredup hingga cenderung mengedepankan aspek ekonomisnya saja membuat saya sedikit bergidik miris. Dalam sebuah obrolan bersama salah seorang teman yang notabene sebagai seniman, saya mendapatkan kaca mata baru untuk melihat fenomena redupnya Lukisan Kamasan ini.

Lukisan itu ada dua macam, pertama ia dipandang sebagai sebuah ‘karya’ dan kedua sebagai sebuah ‘komoditas’. Ketika kita memandang lukisan itu sebagai sebuah karya, maka dapat dicari hanya di pameran saja. Ya, tapi kalau kita memandangnya sebagai sebuah komoditas, maka bisa dicari di pasaran biasa. Namun, kalau aku sendiri sebagai seniman, memandang sebuah karya itu seperti anak kita sendiri (sesuatu yang berharga) bukan sebuah komoditas ekonomi (Nugraha, 2019).

Pada intinya, Lukisan Wayang Kamasan yang secara historis memiliki kesakralan yang tinggi—karena digunakan sebagai media menyampaikan aspek-aspek spiritual (religi)-kultural—kini telah bergeser sebagai suatu komoditi yang berharga jual tinggi. Walaupun pada kenyataannya, ketika zaman memasuki era perubahan lagi, kini ‘harga’ lukisan tersebut juga tidak terlalu menjanjikan. Selain itu, kejayaan lukisan ini—entah sebagai komoditi atau tradisi—juga mulai meredup. Hal ini terjadi karena pada dasarnya sudah memiliki penanaman orientasi yang salah dalam masyarakat itu sendiri, sehingga generasi muda saat ini hanya berpikir melalui kaca mata ekonomi—akibatnya, ketika karya seni tersebut sudah tidak laku lagi sebagai komoditi, maka generasi penerusnya pun menjadi tidak begitu tertarik. Ya, meskipun demikian tetap saja, ketika membicarakan lukisan ini sebagai seni, saya kurang setuju untuk mengkomodifikasikannya sebagai barang ekonomi. Kalau memang sudah bernilai tradisi dan sakral, ya tradisi aja—lestarikan ia sebagaimana fungsi utamanya, nggak usah neko-neko.

Daftar Pustaka

Akar Media
2019 “LUKISAN KAMASAN, Metode Melukis tradisional Bali Akar Media Indonesia”. In Majalah Online https://www.akar-media.com/lukisan-kamasan-metode-lapangan-tertua-lukisan-di-bali/ (diakses pada 8 Desember 2019; pukul 22.29)
Davies, Stephen
2007 Balinese Aesthetics. The Journal of Aesthetics and Art Criticism (65)1: 21-29.
I Putu Suyatra
2018 (ed) “Lukisan Klasik Kamasan, Tutur Penjabaran Kehidupan”. In baliexpress.jawapos.com. https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/02/06/46698/lukisan-klasik-kamasan-tutur-penjabaran-kehidupan (diakses pada 9 Desember 2019; pukul 21.53)
Komunitas OpenSID Klungkung
2019 “Sejarah Desa Kamasan”. In kamasan.desa.id. https://kamasan.desa.id/index.php/first/artikel/99 (diakses pada 8 Desember 2019; pukul 20.32)
Mustofa, Ali
2019 (ed) “Minat Wisatawan Asing ke Lukisan Wayang Kamasan Mulai Menurun”. In radarbali.jawapos.com. https://radarbali.jawapos.com/read/2019/05/26/138855/minat-wisatawan-asing-ke-lukisan-wayang-kamasan-mulai-menurun (diakses pada 9 Desember 2019; pukul 19.03)
Redaktur Balipost
2017 “Penjualan Lukisan Wayang Kamasan Tak Semanis Dulu”. In balipost.com. http://www.balipost.com/news/2017/11/12/27759/Penjualan-Lukisan-Wayang-Kamasan-Tak...html (diakses pada 9 Desember 2019; pukul 18.17)
Redaktur Beritabali
2016 “Wow, Lukisan Kamasan Laku Terjual Hingga Rp 2 Miliar”. In beritabali.com. https://news.beritabali.com/read/2016/12/02/201612020001/wow-lukisan-kamasan-laku-terjual-hingga-rp-2-miliar (diakses pada 9 Desember 2019; pukul 20.11)
Vickers, Adrian
2011 Balinese Art versus Global Art. Jurnal Kajian Bali 1(2): 34-62.




[1] Vickers, Adriana (2011) Balinese Art versus Global Art. Jurnal Kajian Bali 1(2): 34-62.
[2] Beberapa fakta dalam sub-bab ini dicatut dari laman resmi Desa Kamasan—artikel berjudul ‘Sejarah Desa Kamasan’ https://kamasan.desa.id/index.php/first/artikel/99 pada 8 Desember 2019.
[3] Mengacu pada berita online terbitan IDN TIMES BALI “Unik, Penduduk Desa di Bali ini Jadi Pelukis Klasik Kamasan” dalam https://bali.idntimes.com/science/discovery/wayan-antara/desa-pembuat-lukisan-kamasan-di-bali/full (diakses pada 8 Desember 2019)
[4] Miguel Covarrubias, Island of Bali, p. 160. In Balinese Aesthetics The Journal of Aesthetics and Art Criticism 65(1):21-29.
[5] Mengacu pada sebuah berita terbitan Balipost.com “Penjualan Lukisan Wayang Kamasan Tak Semanis Dulu” http://www.balipost.com/news/2017/11/12/27759/Penjualan-Lukisan-Wayang-Kamasan-Tak...html (diakses pada 9 Desember 2019; pukul 18.17)
[6] Mengacu pada sebuah berita terbitan Radarbali.jawapos.com “Minat Wisatawan Asing ke Lukisan Wayang Kamasan Mulai Menurun” https://radarbali.jawapos.com/read/2019/05/26/138855/minat-wisatawan-asing-ke-lukisan-wayang-kamasan-mulai-menurun (diakses pada 9 Desember 2019; pukul 19.03)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?