Multikulturalisme Pendidikan: Anti-bullying Sebagai Wacana Kosmpolitanisme


Konsep Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme merupakan sebuah paham yang berasal dari bahasa Yunani, cosmos dan polites. Cosmos dapat diartikan sebagai universe, sementara polites memiliki arti citizen. Dengan demikian, arti dari kosmopolitanisme dari segi etimologi bahasa ialah paham yang meyakini bahwa kita sebagai manusia adalah citizen of universe atau warga dunia. Menurut Wardhani (2017), kosmopolitanisme adalah bagaimana kita dapat hidup bersama dan bagaimana kita dapat hidup dengan manusia lain. Paham ini pun mengarah pada identitas kita sebagai warga dunia yang mempunyai rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi dengan manusia lain meski memiliki perbedaan status warga negara, ras, agama, dan lain-lain. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Diogene de Sinope yang merupakan seorang filsuf dari Yunani yang lahir pada tahun 412 SM. Diogene mengungkapkan, “I am a citizen of the world”. Kemudian terdapat kaum stoic yang mengembangkan ide Diogene tentang kosmopolitanisme. Wardhani (2017), mengungkapkan, bahwa setiap manusia dapat dimasukkan dalam dua komunitas, komunitas lokal di mana tempat mereka lahir dan komunitas dunia. Sehingga, seluruh umat manusia adalah saudara, seluruh umat manusia hidup harmonis sesuai dengan hukum negara, orang asing itu tidak ada, dan budak juga adalah manusia.
            
Sementara dalam dunia modern, terdapat Immanuel Kant yang turut menyumbang ide tentang kosmopolitanisme. Dalam tulisannya tentang antropologi pragmatis dan sejarah semesta, Kant mempertahankan gagasan untuk umat manusia secara keseluruhan dengan menekankan pada pentingnya pengetahuan manusia sebagai warga dunia (Cheah, 2006). Dunia dengan batas yang kabur seperti  era globalisasi saat ini merupakan salah satu bukti tentang ide kosmopolitanisme. Kemajuan di era globalisasi membuat batas-batas yang ada di tiap-tiap negara kabur. Dalam artian bahwa manusia dapat berinteraksi dengan manusia lain di belahan bumi yang berbeda pada satu waktu tanpa harus menempuh jarak yang ada. Namun, Kant tetap menganggap bahwa kedaulatan negara sebagai hal yang tidak dapat diganggu gugat. Kant juga percaya bahwa negara memiliki peran penting dalam pendidikan moral budaya warganya, sehingga ide kosmpolitanisme pun dianggap masih terbatas (Cheah, 2006). Secara sederhana, kosmopolitanisme mengasumsikan sikap positif terhadap perbedaan, keinginan untuk membangun ketaatan yang luas dan komunikasi global dengan warga yang setara dan damai. Mereka harus dapat berkomunikasi melintasi batas-batas budaya dan sosial yang nantinya dapat membentuk solidaritas universal (Ribeiro, 2005).
            
Berdasarkan konsep kosmopolitanisme di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mencapai komunikasi lintas batas budaya tersebut diperlukan adanya nilai-nilai toleransi. Setiap warga harus memiliki rasa menghargai atas unsur-unsur budaya yang ada, niscaya akan tercipta iklim universal yang solid. Wacana toleransi ini paling tidak dapat membatasi atau mengurangi munculnya konflik atau pertentangan terhadap paham kosmopolitan ini. Dalam hal memaknai kosmopolitan ini individu pun dituntut untuk menjadi citizen of the world, atau sama dengan menanggalkan identitas diri aslinya dalam berkomunitas. Maka dari itu, ide-ide toleransi merupakan hal yang pokok agar ego setiap identitas diri individu dapat melebur menjadi satu kesatuan identitas dunia.  

Kosmopolitanisme dan Toleransi dalam Pendidikan
            
Kosmopolitanisme sangat erat kaitannya dengan wacana toleransi. Agar mampu mencapai konsep kosmopolitanisme ini—atau disebut dengan citizen of the world—adanya sikap saling menghargai dan menanggalkan ego pribadi pun sangat perlu digemparkan. Jika dilihat dari konsep umumnya, kosmopolitanisme ini merupakan suatu paham yang baik. Di mana setiap orang mampu berkomunikasi dengan baik dalam komunitas tanpa membawa atau bahkan mengunggulkan identitas diri aslinya, dengan kata lain orang kosmopolit pasti memiliki rasa toleransi yang tinggi. Oleh karena itu, konsep kosmopolitanisme ini perlu diperkenalkan dalam dunia pendidikan.
            
Seperti yang telah kita ketahui, dunia pendidikan merupakan satu platform yang dapat menyebarkan nilai-nilai positif dalam melihat dunia secara efektif. Pendidikan dapat dikatakan menjadi satu-satunya tempat paling tepat dalam mencemari pemikiran generasi muda dalam hal penanaman niali-nilai arif sosial budaya, entah itu multikulturalisme, nasionalisme, toleransi, bahkan kosmpolitanisme.
            
Dalam suatu lingkungan sosial yang terdiri dari ragam latar belakang budaya dan etnis, seperti Indonesia, semua orang wajib memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk hidup dengan damai. Rasa empati mendasari hubungan yang terbuka dan saling menghormati antarsesama. Dalam menyikapi segala bentuk perbedaan di berbagai tataran kehidupan, penting untuk menyadari akan kewajiban bersikap saling toleran kepada sesama umat manusia yang hidup bersama. Sikap seperti ini harus diajarkan dan ditumbuhkembangkan dalam diri anak sejak dini, salah satunya melalui pendidikan. Dengan memiliki rasa empati kepada sesama dan lingkungan, solidaritas anak kepada lingkungan dan komunitas yang berbeda juga akan meningkat. Hal ini diperlukan tidak hanya dalam masyarakat yang heterogen, tapi juga dalam masyarakat homogen. Baik masyarakat yang bersifat majemuk atau yang homogen, akan selalu ada perbedaan seperti perbedaan sikap, cara pandang, minat, dan kemampuan. Oleh karena itu, memupuk rasa empati dan menumbuhkan rasa solidaritas sebagai wacana kosmpolitanisme dalam diri anak sangat penting untuk diperkenalkan sejak dini, terutama melalui lembaga pendidikan.

Strategi Antibullying Sebagai Ide Kosmopolitanisme
            
Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa toleransi merupakan hal pokok yang terkait dengan nilai kosmopolitanisme itu. Sedangkan untuk menciptakan iklim toleransi itu sendiri paling efektif jika melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai platform pokok atau utama dalam penanaman nilai-nilai toleransi dan konsep kosmopolitanisme ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, saya menawarkan penanaman nilai itu melalui program antibullying dalam lingkup sekolah terlebih dahulu. Menurut saya, program ini merupakan cara paling efektif dalam proses penanaman toleransi dan kosmopolitanisme terhadap anak melalui lembaga pendidikan. Seperti yang telah terlaksana dalam gaya pendidikan Finlandia.
            
Telah kita ketahui bersama bahwa Finlandia merupakan negara yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang sangat baik. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita mau mencontoh bagaimana program antibullying ini dilaksanakan—dalam konteks untuk terciptanya pengertian toleransi dan kosmopolitanisme yang baik sejak usia dini. Untuk mencapai keberhasilan program antibullying tersebut tidak serta merta melalui proses yang instan. Diperlukan adanya strategi agar program tersebut dapat tersampaikan dengan benar.
            
Menurut Timothy D. Walker (2017), lebih dari satu dekade Finlandia berusaha mencari solusi atas perisakan yang terjadi di sekolah-sekolah. Salah satunya—di sekolah Helsinki—diperkenalkan pada program antibullying yang paling populer, yang disebut KiVa, di mana saat ini telah diterapkan di 90 persen sekolah di Finlandia. KiVa merupakan singkatan dari kata-kata Finlandia kiusaamita vastaan, yang berarti “melawan perisakan”. Ini juga merupakan permainan kata, karena kata kiva jika diterjemahkan berarti “baik” (Khamsi, 2016).
            
Berdasarkan strategi KiVa, ada beberapa komponen pencegah, yaitu para siswa mendapatkan instruksi yang berhubungan dengan perisakan (dengan bantuan perangkat lunak komputer, contohnya), dan mereka memainkan peran di kelas (Ring, 2016). Dalam KiVa, Anda tidak perlu meminta maaf kecuali jika Anda ingin melakukannya, karena biasanya ketika Anda diminta untuk meminta maaf kadang Anda tidak bersungguh-sungguh. Dalam KiVa ini Anda berusaha fokus di mana masalah itu berada dan bagaimana Anda berperilaku serta bagaimana Anda dapat berperilaku secara berbeda. Biasanya, sebuah pertemuan follow-up dijadwalkan untuk kedua belah pihak, dua minggu berikutnya, saat peninjauan ulang. Jika masalah tetap ada, protokol tambahan diikuti dan orang tua diberitahu.
            
Perisakan di sekolah Finlandia tidak dapat ditoleransi, tapi ide di balik program KiVa itu ialah bahwa di sana ada (relatif) banyak tindakan kecil, seperti pembicaraan penyelesaian konflik atau situasi permainan peran di dalam kelas, yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perisakan. Menurut Paula, KiVa merupakan sebuah program yang sangat baik. Di sekolah Helsinki, perisakan merupakan sebuah pemusnahan kebahagiaan yang sangat jelas dan tidak mencerminkan konsep toleransi dan kosmopolitanisme, sayangnya tindakan yang diambil para murid untuk merespons dampak yang menyedihkan itu terlalu kecil. Untungnya, program KiVa menyarankan berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk melindungi kebahagiaan di kelas dengan membantu para murid mengambil peran melawan perisakan secara langsung.
            
Ketika melihat bagaimana program tersebut bekerja, rasanya sangat mungkin bahwa KiVa memang menjadi pilihan yang tepat sebagai strategi penanaman nilai toleransi yang mana merupakan cerminan dari kosmopolitanisme. Program KiVa ini sangat menggantungkan peran utama pada guru yang nantinya akan mendidik para murid di sekolah. Diperlukan kerja sama yang nyata antara guru dan murid ketika menjalankan program ini. Keduanya dituntut untuk menanggalkan ego demi terciptanya iklim yang toleran. Akan tetapi, pertanyaannya sekarang mampukah Indonesia mencontoh program tersebut?
            
Seperti yang telah kita ketahui, banyak praktik pendidikan yang saat ini telah menghilangkan unsur multikulturalisme. Wacana multikulturalisme seakan-akan hanya menjadi sebuah paham yang lewat begitu saja, tanpa dipahami maksud dan tujuannya. Sekolah-sekolah di Indonesia umumnya hanya menjadikan multikulturalisme sebuah ide tanpa menjalankan praktiknya dengan benar. Mungkin telah banyak murid-murid yang berpikiran multikultur, tapi inti permasalahannya hanya pada tenaga pendidik. Sering dijumpai ketika murid telah bermultikultur, tapi gurunya tidak—itulah yang merupakan masalah pokok pendidikan Indonesia. Di mana sebagaian besar warga sekolahnya belum mampu mencapai pemikiran kosmopolitan. Sedangkan untuk mengubah mindset itu merupakan hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.

Pendidikan Perdamaian Untuk Mencapai Kosmopolitan

Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak keragaman—mulai dari etnis, agama, bahasa, suku bangsa, dan lain sebagainya—seharusnya lebih gencara untuk menanamkan nilai toleransi dan ide kosmopolitan ini. Ketika toleransi tersebut sudah tercapai dan warga telah memiliki pemikiran kosmopolitan, maka akan tercipta kedamaian atau mencapai peace of the diversity. Seperti yang telah terjadi di Kirkuk, salah satu kota di Irak. Menurut berita di Medium.com, Kirkuk telah lama menjadi rumah bagi orang-orang dari berbagai latar belakang agama dan etnis, termasuk Kurdi, Turkmen, Asyur, dan Arab. Pengungsi Irak yang mencari keselamatan di Kirkuk telah menambah keragaman ini—tetapi mereka juga menambah ketegangan di daerah yang kekurangan layanan ini.
            
UNICEF menanggapi gesekan dan kekurangan di Kirkuk dengan membangun program untuk mendorong perdamaian dan toleransi, dimulai di sekolah-sekolah. Menurut Kelsey Shanks, seorang konsultan UNICEF, bahwa sangat penting bagi lembaga pendidikan untuk ikut andil dan peka terhadap konflik, sehingga mereka dapat mempromosikan perdamaian karena langkah awal untuk menanamkan rasa toleransi ini tidak lain melalui sekolah.
            
Jika sekolah Helsinki di Finlandia menanamkan toleransi dan ide kosmopolitan melalui program anti-bullying KiVa, di Kirkuk memiliki Program Pendidikan Perdamaian atau The Peace Education Programme yang diusung oleh UNICEF. Kegiatan dalam Program Pendidikan Perdamaian ini meliputi pembentukan kelompok-kelompok pemuda atau siswa yang dipilih untuk memantau dan melaporkan setiap konflik di 30 sekolah di seluruh kota. Selain itu, program ini juga mengadakan kelompok penjangkauan masyarakat, pelatihan guru, lokakarya, dan kegiatan olah raga tim. Tim olah raga selalu dicampur untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat di sekolah merupakan bagian dari setiap tim. Strategi ini membantu untuk membangun semangat tim di antara para peserta, baik selama dan setelah pertandingan.
             
UNICEF’s Peace Education Programme ini didirikan dengan sumbangan besar dari pemerintah Italia, Cooperazione Italiana allo Sviluppo. Inisiatif ini memperkuat perdamaian dan kohesi sosial antara siswa dan sekolah, mengajarkan saling pengertian dan toleransi, memelihara inklusi, dan menciptakan sekolah yang aman. Tujuan-tujuan program tersebut tidak terlepas dari bibit-bibit pemikiran kosmopolitanisme. Sajjad Ismail, spesialis pendidikan di UNICEF, mengatakan bahwa program ini merupakan satu tindakan kecil tapi berhasil, dan berencana untuk memperluas: “Ini adalah intervensi kecil dengan dampak besar”.

Kesimpulan
            
Setiap individu pada dasarnya memiliki posisi dan nilai yang sama sebagai manusia serta memiliki keinginan yang sama untuk memperoleh kedamaian. Jika kesadaran ini terwujud, maka akan tercipta harmoni karena tidak akan ada lagi individu yang merasa dirinya lebih baik atau lebih unggul dibandingkan orang lain. Ide-ide dasar kosmopolitanisme ini dikemukakan oleh Associate Professor of Philosophy, Faculty of Art, Deakin University, Australia, Stan van Hooft, Selasa (6/10), di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Menurut beliau setiap individu itu penting, tidak peduli apakah dia Nasrani atau Islam. Jika kosmopolitanisme ini didasari benar nilai-nilainya, tidak akan pernah ada satu pun orang yang menganggap orang lain lebih rendah atau lebih buruk. Terkait dengan identitas kelompok minoritas, kosmopolitanisme mengakui dan menghargai hak kelompok masyarakat atau etnis tertentu untuk memiliki tradisi budaya tersendiri, termasuk penggunaan dan pengembangan bahasa. Di satu sisi kosmopolitanisme mengakui dan menghargai kebutuhan untuk memiliki identitas dan budaya tersendiri. Namun di sisi lain, identitas itu justru akan menciptakan dinding pemisah dengan kelompok yang lain. Oleh karena itu, hal pokok yang dibutuhkan ialah meningkatkan toleransi, terutama melalui pendidikan yang dianggap sebagai platform paling tepat untuk menyebarkan nilai tersebut. Utamanya di Indonesia, yang merupakan negara penuh keragaman, maka sangat diperlukan penanaman toleransi dan ide kosmopolitan ini agar terciptanya peace of the diversity. Sedangkan salah satu strategi untuk mencapainya kita dapat mencontoh dari sistem pendidikan di Finlandia dan juga Kirkuk, seperti program anti-bullying KiVa serta The Peace Education Programme.

Daftar Pustaka

Walker, Timothy D. 2017. Teach Like Finland. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Ningtyas, Ayu Ratna. “Menumbuhkan Semangat Kosmopolitanisme (Empati dan Solidaritas) dalam Diri Anak melalui Buku Cerita Bergambar”. Seminar Nasional Sastra Anak. (2016): 38-47. Web. https://www.pbsi.uad.ac.id.
Cheah, Pheng. 2006. “Cosmopolitanism”, Theory Culture Society. 2006, 23: 486. Web. https://unair.ac.id.
Fanesa, Lalaa. 2017. Kosmopolitanisme: Pengertian, Sejarah, dan Kaitannya dengan Multiikulturalisme dan Globalisasi. Web. https://unair.ac.id.
Rebeiro, Gustavo Lins. 2005. “What is Cosmopolitanism?”. Vibrant—Virtual Brazilian Anthropology. Brasilia, ABA. Web. https://unair.ac.id.
Ring, E. (10 Juni 2016). “Anti-bullying programme focused on changing bystander behavior should be in Irish schools”. Irish Examiner. Web. http://www.irishexaminer.com/ireland/anti-bullying-programme-focused-on-changing-by-stander-behavior-should-be -in-irish-schools-404099.html
UNICEF Iraq. (23 November 2015). “In Kirkuk, Teamwork Builds Tolerance”. Medium.com. Web. https://medium.com/stories-from-unicef-in-iraq-english/in-kirkuk-teamwork-builds-tolerance-68419416535
Wardhani, Baiq L. S. W. 2017. What is Cosmopolitanism?. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Airlangga. Web. https://unair.ac.id.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?