Terbesitnya Sosial Protes dalam Satu Panggung Sandiwara
A picture by: Atha Raditha, 23 September 2019; TBJT
Surakarta
|
The Three Lives of
Antigone merupakan sebuah
naskah drama milik Slavoj Zizek, yang untuk pertama kalinya diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh kelompok Teater Terjal FIB UGM dengan judul Antigone: Trilogi Kematian Hasrat. Naskah
ini menceritakan seorang tokoh bernama Antigone yang sangat setia kepada
keluarga serta hukum paten dari para dewa. Juga Raja Creon—paman dari
Antigone—yang sangat otoriter dan selalu mengatasnamakan kebaikan negara dalam
membuat keputusan. Akan tetapi, ketika suatu masalah datang, lalu Antigone
mencoba untuk menyuarakan pendapatnya akan permasalahan tersebut, malah
mengakibatkan munculnya banyak malapetaka di Negeri Thebes.
Permasalahan itu bermula ketika Antigone menginginkan
saudaranya, Polyneices, yang sudah makar terhadap negara agar dimakamkan dengan
semestinya. Namun, karena ia dianggap makar, Creon pun tidak ingin memberikan
pemakaman yang layak. Ia hanya membiarkan jasad Polyneices begitu saja dan akan
merajam sampai mati bagi siapapun yang menguburkannya. Begitu kerasnya aturan
Creon yang pada akhirnya membuat Antigone marah dan membela hukum ‘Dewa’. Setelah
kejadian pengkhianatan oleh Polyneices, penguburan paksa oleh Antigone, serta
aturan otoriter yang diberikan oleh Creon, banyak malapetaka yang hadir di negeri
itu.
Tokoh yang memegang kunci jalannya cerita ini ialah
para rakyat. Seluruh rakyat menentang keputusan Creon juga Antigone. Mereka
menganggap bahwa Creon dan Antigone merupakan sumber kekacuan negeri. Rakyat
pun berevolusi dan menuntut agar mereka ditahan. Rakyat menginginkan hukum baru
yang ditegakkan secara adil yang sesuai dengan keadaan mereka. Mereka
menganggap bahwa Antigone dan Creon merupakan tokoh fanatik yang berbahaya.
Tak heran jika pada akhirnya kematian terjadi
dimanapun. Antigone mati gantung diri dengan kain menjerat pada lehernya.
Bahkan, Haemon—putra dari Creon, yang merupakan tunangan Antigone—turut menjadi
seorang pemberontak yang menentang keras aturan-aturan ngawur yang dibuat oleh
Creon, bapaknya sendiri.
Akan tetapi, sebagai penutup pementasan, semua pilihan
dikembalikan pada penonton sebagai fragmen masyarakat untuk memilih mana yang
benar. Walaupun dalam drama ini saya memerankan tokoh Antigone, tidak
sepenuhnya saya berpihak pada karakter tersebut—memang, entah Creon, Antigone,
ataupun rakyat tidak ada yang salah. Mereka memiliki tujuan masing-masing untuk
diperjuangkan. Ketika seseorang diamanahi sebagai pemimpin, maka ia akan
menggunakan hak otoritasnya untuk mengatur dan membuat keputusan sesuai apa yang
ia anggap benar.
Dibandingkan Antigone, saya lebih berpihak pada
rakyat, mereka menginginkan seorang pemimpin yang dapat membuat aturan demi
kemakmuran dan tidak menciderai rakyat. Rakyat lebih memilih untuk
menggulingkan Creon dan Antigone dari panggung politik negara, dengan membuat
aturan-aturan dan pemimpin yang baru. Dengan tegas dan lantang rakyat
menyuarakan hak kebebasan bersuara mereka untuk sebuah kehormatan.
Kemudian, saya merelevansikan naskah Antigone tersebut
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang mencederai Ibu Pertiwi saat ini. Banyak
kekacauan yang timbul akibat aturan-aturan ngawur
sang pemimpin. Sebelum saya tulis lebih lanjut, saya ingin memaparkan
alasan mengapa saya menganalogikan kekacauan Indonesia ini dengan naskah
Antigone milik Slavoj Zizek, yang merupakan seorang filsuf dan ahli
psycho-analisist.
Pertama, naskah ini memang mengusung tema kekacauan
demokrasi yang dijalankan oleh seorang pemimpin otoriter dan elite politik dengan
tujuan mementingkan keuntungan pribadi. Saya melihat bahwa poin pertama ini
sangat relevan dengan permasalahan Indonesia terkait pengesahan RUU KPK sedang
viral. Mahasiswa menilai adanya pasal-pasal baru dalam RUU tersebut tidak
rasional dan dinilai memiliki unsur keegoisan wakil rakyat. Wacana pengesahan beberapa
RUU ini memiliki latar belakang atau alasan yang hanya akan menguntungkan
beberapa elite politik saja. Oleh karenanya, mayoritas elemen masyarakat
menolak pengesahan RUU ini—salah satunya melalui gerakan aksi yang dilakukan
oleh banyak mahasiswa di berbagai daerah Indonesia.
Relevansi selanjutnya terkait tuntutan yang diajukan
oleh rakyat dalam naskah ini sama dengan tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksi
damai penolakan RUU itu. Beberapa tuntutan sama yang diajukan ialah mahasiswa
menginginkan pencabutan beberapa pasal RUU KUHP yang dianggap sangat menciderai
kepentingan rakyat. Kemudian, mendesak negara untuk lebih menghormati hak-hak
perempuan, juga menginginkan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak terus
dibatasi.
Hal ketiga yang menggelitik bagi saya ialah pementasan
Antigone yang sudah dipersiapkan dan ditetapkan tanggal pentasnya sejak 9 bulan
sebelumnya ternyata bertepatan dengan aksi #gejayanmemanggil pada tanggal 23
September 2019 kemarin. Dalam aksi ini berbagai mahasiswa Yogyakarta berkumpul
dan bersatu untuk menyuarakan aksi protesnya terhadap RUU yang dinilai tidak
manusiawi itu.
Sebuah negara sejatinya memiliki dewan petinggi yang
mengatur keberlangsungan kehidupan rakyat sebagai elemen utama bangsa dengan
membuat aturan-aturan hukum. ‘Mereka’ yang dianggap ‘penguasa’ memiliki
kewenangan untuk menciptakan aturan, tapi dengan syarat bahwa aturan-aturan
tersebut haruslah adil dan memakmurkan rakyat. Namun, terkadang apa yang
dianggap adil dan benar oleh seorang pemimpin, tidak dianggap demikian oleh
rakyat.
Sedangkan mahasiswa sebagai aset vital masyarakat
tidak akan pernah berhenti berevolusi. Mereka selalu mengkritisi aturan-aturan
pemimpin yang dianggap dapat merugikan hak-hak rakyat, yang dalam konteks ini
ialah kontroversi pengesahan RUU yang baru.
Meskipun demikian, untuk mengkritisi aturan-aturan ngawur para pemimpin sebenarnya tidak
harus melalui aksi-aksi damai seperti yang terjadi saat ini. Bisa saja, kita
sebagai mahasiswa turut menyuarakan protes tersebut melalui cara lain yang
menurut saya lebih edukatif dan kreatif, yaitu melalui seni pertunjukan teater.
Kita dapat memilih naskah-naskah pertunjukan yang sedang relevan dengan
peristiwa mana hendak dikritik.
Seperti melalui naskah Antigone ini—yang secara tidak
terduga relevan dengan kontroversi yang terjadi—kami seluruh aktor yang juga
merupakan mahasiswa aliansi rakyat dapat mengkritik pemimpin melalui
dialog-dialog yang ada, bisa juga ditambahkan improvisasi sesuai dengan apa
yang ingin kita suarakan. Dengan begitu, pementasan teater dapat menjadi sarana
opsional dalam melakukan aksi protes sosial terhadap sang pemimpin—dalam wacana
ini ialah kontroversi RUU KUHP yang ngawur.
We’ve reached the end of Antigone’s sad
stories—which of them is the one to follow? Was she right in insisting to the
end on the respect for the divine unwritten laws? Was Creon right in keeping in
his sight the common good of the city-state? Or was the Chorus sight in getting
rid of both of them and in establishing a common rule? There is no simple
answer—we, actors, are just shadows to you, our spectators. It’s up to you to
choose at your own risk and peril. There is no one to help you here, you are
alone. When we’re alone, when nothing happens, all of a sudden we’re hit by the
murmur of life, and at that moment, wise men know how to suspend the chaos and
decide (Antigone, Slavoj Zizek).
Referensi:
Zizek, Slavoj. 2016. Antigone. London: Bloomsbury. Web. www.bloomsbury.com
Wansbrough, Aleksandr Andreas. “Political
Representation in Slavoj Žižek’s Antigone and Marvel Studio’s Black Panther by
Slavoj Žižek (review)”. Journal of
Asia-Pacific Pop Culture 3, No. 2 (2018): 342-353. Web. https://muse.jhu.edu/
Komentar
Posting Komentar