Belajar dari Corona: Akankah Masyarakat Semakin Religius?
Sumber Gambar: https://www.suarasurabaya.net/ |
Alih-alih
melihat corona sebagai suatu hal yang menjengkelkan—pengagas problematik krisis
kehidupan individu—saya lebih tertarik memahaminya teruntuk sebuah pertanda
fase kehidupan yang dilihat dari sudut pandang masyarakat religius. Belajar
dari falsafah hidup orang Jawa, adanya pageblug
dipahami sebagai sebuah ‘penanda’ penting bahwa hidup itu memiliki alur
fase atau siklus untuk kembali menuju keseimbangan—entah secara lingkungan
maupun sosial. Sama halnya dengan pertanda yang diyakini umat Islam atas keimanannya
terhadap fase-fase akhir zaman. Di mana Tuhan menciptakan berbagai bencana agar
manusia senantiasa mengingat kematian yang pada akhirnya meningkatkan keimanan
individu atas agamanya—menurut kacamata teologis. Layaknya ‘disengaja’, pandemi
ini tercipta sebagai pemenuh suatu elemen fungsi laten masyarakat untuk kembali
memandang dan menjalani kehidupan dari awal.
Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa konteks dalam penulisan kali ini berlingkup pada
masyarakat Indonesia yang notabene dianggap religius—sebagian besar—yang
menjadikan agama sebagai tolok ukur permainan politik kehidupan.
Berkaca dari Fungsionalisme
Membaca
corona rupanya mengingatkan saya dalam meraba teori fungsionalisme, sebuah
teori yang sangat melekat dengan sosok antropolog tersohor, Malinowski dan
Radcliffe-Brown—paradigma yang ahistoris. Asumsi dasar dari paradigma ini
adalah bahwa segala sesuatu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang akan
menjelaskan keberadaannya (Ahimsa-Putra, 2011). Model yang digunakan di sini
ialah model organisme (Radcliffe-Brown, 1952)—layaknya fungsi organ yang ada
dalam tubuh suatu organisme. Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam
antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita
memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme yang bagian-bagiannya
tidak hanya saling berhubungan, melainkan juga memberikan andil bagi
pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan
demikian, dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi bahwa semua sistem
budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan
eksistensinya (Kaplan dan Manners, 1999).
Lantas,
bagaimana corona ini mampu menjadi refleksi penggambaran dan paradigma
fungsionalisme tersebut?
Pada
nyatanya, kehidupan tidaklah berintegrasi secara sempurna. Dengan demikian,
memungkinkan hadirnya terobosan alami fungsionalisme alternatif di mana unsur
lain berusaha untuk melakukan fungsi yang sama. Terobosan alami ini tak lain
ialah corona. Hadirnya corona bagaikan suatu momentum yang dapat
memutarbalikkan keadaan dunia. Kehidupan yang pada awalnya eksploitatif,
ternyata memerlukan momentum berupa waktu dan ruang untuk rehat sejenak. Oleh
sebab itu, saya menyebut bahwa corona memberikan sebuah fungsi bagi lingkar
kehidupan masyarakat—yang disebutkan oleh Merton (lih. Kaplan & Manners,
1999)—ialah fungsi laten. Fungsi laten merupakan fungsi yang tidak dihendaki
maupun disadari, ataupun disadari sebagai fungsi lain. Dapat kita sederhanakan,
fungsi laten yaitu konsekuensi yang timbul kemudian tanpa direncanakan.
Mengacu
pada pemikiran Parson, masyarakat difungsikan oleh
adaptation, or securing generalized resources for use in achieving the varied output goals of the system; goal attainment, or providing for the effective expenditure of resources in the pursuit of particular goals; integration, or providing for the coordination of the diverse elements and units within the system; and latent pattern maintenance, or maintaining the stability of the overall structural reference points and boundaries that define the system. These functions (which are often referred to by their abbreviations A, G, I, and L) can be ordered according to the hierarchy of control, with pattern maintenance the controlling function at the top and adaptation the ultimate conditional element at the bottom. The four functions virtually follow from the very concept of a system. If a set of elements can be considered to form a system (rather than a merely arbitrary subset of the parts of some larger whole), then there must be a boundary that demarcates the elements within a system from elements not properly considered a part of the system …. (1982:23-25).
Parsons berpikir bahwa fungsi-fungsi
seperti itu dibutuhkan dan dapat diidentifikasi dalam seluruh masyarakat dan
kelompok, dalam seluruh pola interaksi sosial, bahkan dalam kepribbadian dan
sistem budaya secara keseluruhan (Eisenstadt, 1990). Oleh sebab itu, muncullah
corona yang memiliki fungsi untuk kembali memulihkan kehidupan agar menjadi
lebih baik.
Pandemi
secara tidak langsung memberikan suatu momen bagi manusia untuk berkontemplasi,
kembali menaturalisasi kehidupannya. Mungkin tidak hanya manusia, alam pun
demikian. Di samping hiruk pikuk keributan yang diakibatkannya, pandemi ini
secara tidak langsung memberikan signifikansi imbas yang menguntungkan bagi
kehidupan sosial manusia dan juga lingkungan alam. Pada intinya, corona
dibutuhkan sebagai jawaban atas cara menaturalkan kehidupan fana yang kian
penuh ketidakpedulian dan keterasingan.
Corona Terhadap Religiusitas,
Kok Bisa?
Setelah
merefleksikan corona sebagai sebuah fungsi laten yang diperlukan untuk menjaga
keseimbangan kehidupan masyarakat, agaknya kita dapat mengkorelasikannya untuk
menjelaskan sebuah hukum penyebutan manusia sebagai animal symbolicum (Cassirer, 1945). Bahwa simbol dan simbolisasi
merupakan basis dari perilaku manusia (White, 1949). Melalui premis ini saya
menganalogikan corona sebagai simbol atau tanda yang dipahami oleh manusia
sebagai pengatur keseimbangan hidup di dunia, yang pada akhirnya mengakibatkan
suatu peningkatan ‘pengagungan’ terhadap Pemilik Semesta. Serupa halnya dengan
cerita Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1987), yang menyatakan bahwa hukum
sebagai pemasti berjalannya suatu sistem kiranya digerakkan oleh kesadaran yang
dipengaruhi mitologi dan dongeng suci. Mitologi ini diinternalisasi dalam
kehidupan Trobriand dan selanjutnya diadopsi dalam bertingkah laku. Lebih
lanjut, berbagai tanda atau simbolik yang ada dalam sebuah cerita mitologi atau
dongeng dianggap sebagai apa yang disebut ideal oleh masyarakat setempat yang
mengamininya.
Masih
berbicara mengenai simbolitika dalam mitologi dan dongeng yang mendeterminasi
kehidupan masyarakat, saya ingin memainkan sebuah diskursus terkait adanya
pandemi ini sebagai simbol dalam dongeng keimanan atas agama masyarakat.
Indonesia dikenal sebagai sebuah negara religius, di mana wacana terkait agama
selalu menjadi hal yang krusial dan memengaruhi segala aspek hidup bernegara
masyarakat. Keimanan atas agama yang diinternalisasikan secara turun menurun
membuat mayoritas masyarakat melihat suatu fenomena yang dianggap buruk atau
merugikan terjadi sebagai sebuah ‘pertanda’ atas kehendak Tuhan. Sebagai umat
beragama—terlepas dari kluster keagamaannya—pastilah mengimani adanya hari
akhir. Dengan kata lain, hari akhir diyakini sebagai sebuah dongeng atas
keimanan umat terhadap Tuhannya—yang lestari diturunkan melalui siaran oral
maupun secara tekstual.
Menyoal
keimanan atas hari akhir atau kiamat, umat Islam yang meyakini bahwa tidak ada
satupun zat di dunia yang abadi, sekalipun keberadaan bumi. Kebanyakan muslim
percaya bahwa bumi itu memiliki usia, dan pada akhirnya akan menemui
ajalnya—setiap yang hidup dan memiliki kehidupan sudah pasti akan mati.
Kedatangan hari kiamat ini tidak secara tetiba menghantam, tetapi melalui
berbagai fase terlebih dahulu. Oleh sebab itu, muslim mempercayai adanya
‘pertanda’ yang kemudian mengantarkan dunia menuju kehancuran akhir. Lantas,
jika kita berkaca pada situasi saat ini, pandemi corona ini muncul secara
destruktif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kemunculan corona
sebagai suatu wabah yang mampu menjangkiti hampir seluruh negara di dunia
dianggap sebagai sebuah ‘simbol’ atau ‘tanda’ dalam sebuah dongeng keagamaan
terkait wacana akhir zaman.
Penyebutan
corona sebagai sebuah simbolistik sebuah dongeng keagamaan pada akhirnya mampu
membawa manusia kembali hidup dalam keseimbangan. Bagaimana bisa? Benar,
kehidupan bergelimang harta dan hingar bingar kemewahan sejatinya tidak akan
pernah abadi. Kehidupan yang menyenangkan seakan membuat manusia semakin
terlena—bertindak sebebasnya, mencurangi tanpa merasa berdosa, juga mewajarkan
kesahalan tak pernah menjadi sebuah masalah berarti. Pada awalnya. Hingga
kemudian corona muncul untuk memutarbalikkan keadaan. Muslim mengatakan bahwa
corona sebagai sebuah ‘pertanda’ atas kehendak Tuhan untuk menegur manusia yang
terlalu sombong atas kehidupan sementara ini. Sebanding dengan orang Jawa yang
menyebutnya sebagai weweling urip, bahwa
manusia tidak dapat selamanya hidup berdasarkan kegemerlapan angannya. Adanya dongeng atas hari kiamat dan
corona sebagai simbolitika di dalamnya dipahami oleh umat beragama sebagai momentum
untuk kembali menyempurnakan kehidupan duniawi. Juga menjadi pengingat bagi
manusia untuk kembali menyeimbangkan aturan hidupnya.
Lantas bagaimana
korelasinya dengan peningkatan religiusitas masyarakat?
Sudah saya katakan
di awal bahwa masyarakat kita ini merupakan masyarakat yang sangat religius,
dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Sedangkan, tipe beragama saat ini
ialah menjadikan agama laksana sebuah alat kepentingan. Agama dikontestasikan
untuk mencapai tujuan masing-masing individu penganutnya. Agama menjadi dasar
argumentasi dalam melihat suatu kondisi yang terjadi—tidak mesti, tapi sering
begitu. Saya berbicara atas keimanan umat Muslim, yang mengimani surga, neraka,
kiamat dan segala pertanda kejadiannya. Pengaminan corona sebagai suatu simbol
dalam dongeng hari akhir mendeterminasi tingkah laku muslim bahwa mereka harus
senantiasa kembali mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada akhirnya
pandemi ini akan menciptakan perlombaan untuk mencari keselamatan secara
teologis.
Orang-orang menjadi
semakin agamis, semakin memperkuat doa dan ibadah terhadap Tuhan masing-masing.
Salah satu bukti, dapat terlihat dari kutiapan dialog ini: ‘wah corona ki saben dino kok ya akeh men nambah kematian karo kasus e,
medeni cah, gek kapan yo rampunge. Ya Allah dunya wes arep kukut iki,
tanda-tanda kiamat wes meh cedak. Makane ayo cah podo ngibadah. Bumi ki wes
semakin tuo’. Beberapa tayangan serial
agama juga memberikan wacana bahwa kita harus menghadapi corona ini sebagai
sebuah ujian dari Tuhan. Bagi umat beragama, tentunya, menganggap bahwa seluruh
masyarakat dunia sedang diuji ketahanan imannya melalui penyakit mewabah ini.
Memang, bagi sebagian
besar individu beragama, cenderung menganggap wabah ini merupakan teguran dari
Sang Maha Pemilik Semesta agar kita sebagai manusia lebih mendekatkan diri
pada-Nya dan tidak begitu mementingkan persoalan duniawi saja. Oleh sebab itu,
banyak diri mulai berefleksi dan kembali menyembah serta mengagungkan apa yang
dipercayainya. Tidak hanya menyoal Muslim, tetapi juga agama dan religi lain.
Pada intinya, kerangka pikir religius yang digunakan dalam membaca corona
menjadikan individu kembali berjalan seiring dengan kodrati masing-masing. Menyampingkan
perihal fungsionalisme, alih-alih mencatut dari sebuah teori evolusionisme
menurut Frazer, keadaan pasca-corona dapat saja memaksa kehidupan individu kembali
pada tahapan kedua yaitu agama, meredefinisi teori linear menjadi sebuah teori
siklis yang berpola.
Mengamini
paradigma fungsionalisme, kehidupan layaknya sebuah fungsi organ dalam suatu
organisme yang memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian
hidup “organisme” itu sendiri. Hadirnya corona mampu menjadikan analogi
tersebut sebagai suatu kesunyataan. Alih-alih memandang corona sebagai
penghancur kehidupan, kita perlu memahami pula kehadirannya sebagai suatu
penggagas fungsi laten untuk mewujudkan ‘balancing’
dalam kehidupan masyarakat. Adanya fungsi laten yang di balik sifat destruktif
pandemi, agaknya mampu mengajak kita untuk menyusun kerangka pikir bahwa
kehadirannya merupakan suatu simbol atau pertanda bagi kemaslahatan hidup umat
beragama.
Apabila benar kita meyakini bahwa corona
sontak benar menjadi ‘simbol’ atau pertanda dalam sebuah dongeng keagamaan
bernama ‘kedatangan hari akhir’, maka secara tidak langsung kita pun menyetujui
bahwa kehidupan pasca-corona akan semakin religius. Masyarakat Indonesia yang
secara basis kultur kenegaraannya sudah memaksa untuk religius, maka akan
semakin meningkat religiusitasnya—yang kali ini benar-benar teruntuk Sang
Mahaadil. Akan tetapi, rentetan pernyataan pun membuntutinya.
Sebuah pertanyaan apakah hal ini akan membawa kebajikan dalam hidup berbangsa
dan bernegara, atau justru tidak akan mampu mengubah kondisi seperti sedia
kala? Lantaran individu hanya akan menitikberatkan kehidupan untuk mencari
ilham dan bekal kematian. Mereka hanya akan menjalankan hidup dengan
kesederhanaan tanpa mengharap hingar bingar kegemerlapan duniawi. Target
pencapaian dalam kehidupan dunia pun tak begitu ambisius seperti saat sebelum
terjadinya pandemi. Akan tetapi, sebagai buah keimanan, rasa kemanusiaan pun
akan muncul kembali dan semakin mengakar kuat dalam kehidupan antarmasyarakat.
Saling menjaga, memahami dan menyatu sebagai seberkas entitas yang kuat. But
the important lesson we should’ve known and remember that the future is not
easy to predict.
“There is no return to normal, the new “normal” will have to be constructed on the ruins of our old lives, or we will find ourselves in a new barbarism whose signs are already clearly discernible”—Slavoj Žižek, 2020.
Referensi
Ahimsa-Putra,
H. S.
2011 Paradigma, Epistemologi
dan Etnografi dalam Antropologi. Dalam makalah
yang disampaikan dalam sebuah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode
Antropologi”, diselenggarakan oleh Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Airlangangga di Surbaya, 6-7 Mei 2011.
Cassirer,
E.
1945 An Essay on Man. Yale: Yale University
Press.
Eisenstadt,
S. N.
1990 Functional Analysis in
Anthropology and Sociology: An Interpretative Essay. Annual Review of Anthropology 19:243-260.
Kaplan,
D., dan Albert A. Maners
1999 Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Koentjaraningrat
1987 Sejarah Teori Antropologi. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Mayhew,
L. H.
1982 Talcott Parsons on
Institutions and Social Evolution. Chicago dan London: The University of
Chicago Press.
Radcliffe-Brown,
A.R.
1952 Structure and Function in Primitive
Society. New York: The Free Press.
White,
L.
1949 The Science of Culture:
A Study of Man and Civilization. New York: Farrar, Straus dan Giroux.
Žižek,
Slavoj
2020 PANDEMIC! COVID-19 Shakes the World. New York and London: OR Books.
Komentar
Posting Komentar