Belajar dari Corona: Akankah Masyarakat Semakin Religius?


Sumber Gambar: https://www.suarasurabaya.net/


Penetapan corona virus sebagai buah ‘malapetaka’ dunia berhasil membawa rentetan implikasi yang lebih dari sekadar merusak kesehatan fisik manusia. Banyak media mewartakan buntut dari adanya penetapan virus sebagai sebuah pandemi ini sangatlah besar dan korelatif yang mampu mengubah wajah dunia. Berbagai aspek kehidupan manusia telah terjangkit krisis lantaran kemunculan virus ini. Munculnya krisis di berbagai bidang kehidupan negara-bangsa itu—termasuk kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya—seakan memberi tanda bahwa dunia sedang mengalami masa terburuk di tahun gandanya, terkhusus bagi Indonesia. Pengalaman buruk yang sedang dihadapi oleh mayoritas negara-bangsa dunia ini dapat diasumsikan sebagai buah dari teguran untuk kembali mengingat memoar akan pentingnya menjaga ‘keseimbangan’ dalam satu masa kehidupan.

Alih-alih melihat corona sebagai suatu hal yang menjengkelkan—pengagas problematik krisis kehidupan individu—saya lebih tertarik memahaminya teruntuk sebuah pertanda fase kehidupan yang dilihat dari sudut pandang masyarakat religius. Belajar dari falsafah hidup orang Jawa, adanya pageblug dipahami sebagai sebuah ‘penanda’ penting bahwa hidup itu memiliki alur fase atau siklus untuk kembali menuju keseimbangan—entah secara lingkungan maupun sosial. Sama halnya dengan pertanda yang diyakini umat Islam atas keimanannya terhadap fase-fase akhir zaman. Di mana Tuhan menciptakan berbagai bencana agar manusia senantiasa mengingat kematian yang pada akhirnya meningkatkan keimanan individu atas agamanya—menurut kacamata teologis. Layaknya ‘disengaja’, pandemi ini tercipta sebagai pemenuh suatu elemen fungsi laten masyarakat untuk kembali memandang dan menjalani kehidupan dari awal.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa konteks dalam penulisan kali ini berlingkup pada masyarakat Indonesia yang notabene dianggap religius—sebagian besar—yang menjadikan agama sebagai tolok ukur permainan politik kehidupan.

Berkaca dari Fungsionalisme

Membaca corona rupanya mengingatkan saya dalam meraba teori fungsionalisme, sebuah teori yang sangat melekat dengan sosok antropolog tersohor, Malinowski dan Radcliffe-Brown—paradigma yang ahistoris. Asumsi dasar dari paradigma ini adalah bahwa segala sesuatu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang akan menjelaskan keberadaannya (Ahimsa-Putra, 2011). Model yang digunakan di sini ialah model organisme (Radcliffe-Brown, 1952)—layaknya fungsi organ yang ada dalam tubuh suatu organisme. Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan, melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan demikian, dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi bahwa semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya (Kaplan dan Manners, 1999).

Lantas, bagaimana corona ini mampu menjadi refleksi penggambaran dan paradigma fungsionalisme tersebut?

Pada nyatanya, kehidupan tidaklah berintegrasi secara sempurna. Dengan demikian, memungkinkan hadirnya terobosan alami fungsionalisme alternatif di mana unsur lain berusaha untuk melakukan fungsi yang sama. Terobosan alami ini tak lain ialah corona. Hadirnya corona bagaikan suatu momentum yang dapat memutarbalikkan keadaan dunia. Kehidupan yang pada awalnya eksploitatif, ternyata memerlukan momentum berupa waktu dan ruang untuk rehat sejenak. Oleh sebab itu, saya menyebut bahwa corona memberikan sebuah fungsi bagi lingkar kehidupan masyarakat—yang disebutkan oleh Merton (lih. Kaplan & Manners, 1999)—ialah fungsi laten. Fungsi laten merupakan fungsi yang tidak dihendaki maupun disadari, ataupun disadari sebagai fungsi lain. Dapat kita sederhanakan, fungsi laten yaitu konsekuensi yang timbul kemudian tanpa direncanakan.

Mengacu pada pemikiran Parson, masyarakat difungsikan oleh

adaptation, or securing generalized resources for use in achieving the varied output goals of the system; goal attainment, or providing for the effective expenditure of resources in the pursuit of particular goals; integration, or providing for the coordination of the diverse elements and units within the system; and latent pattern maintenance, or maintaining the stability of the overall structural reference points and boundaries that define the system. These functions (which are often referred to by their abbreviations A, G, I, and L) can be ordered according to the hierarchy of control, with pattern maintenance the controlling function at the top and adaptation the ultimate conditional element at the bottom. The four functions virtually follow from the very concept of a system. If a set of elements can be considered to form a system (rather than a merely arbitrary subset of the parts of some larger whole), then there must be a boundary that demarcates the elements within a system from elements not properly considered a part of the system …. (1982:23-25).

Parsons berpikir bahwa fungsi-fungsi seperti itu dibutuhkan dan dapat diidentifikasi dalam seluruh masyarakat dan kelompok, dalam seluruh pola interaksi sosial, bahkan dalam kepribbadian dan sistem budaya secara keseluruhan (Eisenstadt, 1990). Oleh sebab itu, muncullah corona yang memiliki fungsi untuk kembali memulihkan kehidupan agar menjadi lebih baik.

Pandemi secara tidak langsung memberikan suatu momen bagi manusia untuk berkontemplasi, kembali menaturalisasi kehidupannya. Mungkin tidak hanya manusia, alam pun demikian. Di samping hiruk pikuk keributan yang diakibatkannya, pandemi ini secara tidak langsung memberikan signifikansi imbas yang menguntungkan bagi kehidupan sosial manusia dan juga lingkungan alam. Pada intinya, corona dibutuhkan sebagai jawaban atas cara menaturalkan kehidupan fana yang kian penuh ketidakpedulian dan keterasingan.

Corona Terhadap Religiusitas, Kok Bisa?

Setelah merefleksikan corona sebagai sebuah fungsi laten yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat, agaknya kita dapat mengkorelasikannya untuk menjelaskan sebuah hukum penyebutan manusia sebagai animal symbolicum (Cassirer, 1945). Bahwa simbol dan simbolisasi merupakan basis dari perilaku manusia (White, 1949). Melalui premis ini saya menganalogikan corona sebagai simbol atau tanda yang dipahami oleh manusia sebagai pengatur keseimbangan hidup di dunia, yang pada akhirnya mengakibatkan suatu peningkatan ‘pengagungan’ terhadap Pemilik Semesta. Serupa halnya dengan cerita Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1987), yang menyatakan bahwa hukum sebagai pemasti berjalannya suatu sistem kiranya digerakkan oleh kesadaran yang dipengaruhi mitologi dan dongeng suci. Mitologi ini diinternalisasi dalam kehidupan Trobriand dan selanjutnya diadopsi dalam bertingkah laku. Lebih lanjut, berbagai tanda atau simbolik yang ada dalam sebuah cerita mitologi atau dongeng dianggap sebagai apa yang disebut ideal oleh masyarakat setempat yang mengamininya.

Masih berbicara mengenai simbolitika dalam mitologi dan dongeng yang mendeterminasi kehidupan masyarakat, saya ingin memainkan sebuah diskursus terkait adanya pandemi ini sebagai simbol dalam dongeng keimanan atas agama masyarakat. Indonesia dikenal sebagai sebuah negara religius, di mana wacana terkait agama selalu menjadi hal yang krusial dan memengaruhi segala aspek hidup bernegara masyarakat. Keimanan atas agama yang diinternalisasikan secara turun menurun membuat mayoritas masyarakat melihat suatu fenomena yang dianggap buruk atau merugikan terjadi sebagai sebuah ‘pertanda’ atas kehendak Tuhan. Sebagai umat beragama—terlepas dari kluster keagamaannya—pastilah mengimani adanya hari akhir. Dengan kata lain, hari akhir diyakini sebagai sebuah dongeng atas keimanan umat terhadap Tuhannya—yang lestari diturunkan melalui siaran oral maupun secara tekstual.

Menyoal keimanan atas hari akhir atau kiamat, umat Islam yang meyakini bahwa tidak ada satupun zat di dunia yang abadi, sekalipun keberadaan bumi. Kebanyakan muslim percaya bahwa bumi itu memiliki usia, dan pada akhirnya akan menemui ajalnya—setiap yang hidup dan memiliki kehidupan sudah pasti akan mati. Kedatangan hari kiamat ini tidak secara tetiba menghantam, tetapi melalui berbagai fase terlebih dahulu. Oleh sebab itu, muslim mempercayai adanya ‘pertanda’ yang kemudian mengantarkan dunia menuju kehancuran akhir. Lantas, jika kita berkaca pada situasi saat ini, pandemi corona ini muncul secara destruktif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kemunculan corona sebagai suatu wabah yang mampu menjangkiti hampir seluruh negara di dunia dianggap sebagai sebuah ‘simbol’ atau ‘tanda’ dalam sebuah dongeng keagamaan terkait wacana akhir zaman.

Penyebutan corona sebagai sebuah simbolistik sebuah dongeng keagamaan pada akhirnya mampu membawa manusia kembali hidup dalam keseimbangan. Bagaimana bisa? Benar, kehidupan bergelimang harta dan hingar bingar kemewahan sejatinya tidak akan pernah abadi. Kehidupan yang menyenangkan seakan membuat manusia semakin terlena—bertindak sebebasnya, mencurangi tanpa merasa berdosa, juga mewajarkan kesahalan tak pernah menjadi sebuah masalah berarti. Pada awalnya. Hingga kemudian corona muncul untuk memutarbalikkan keadaan. Muslim mengatakan bahwa corona sebagai sebuah ‘pertanda’ atas kehendak Tuhan untuk menegur manusia yang terlalu sombong atas kehidupan sementara ini. Sebanding dengan orang Jawa yang menyebutnya sebagai weweling urip, bahwa manusia tidak dapat selamanya hidup berdasarkan kegemerlapan angannya.  Adanya dongeng atas hari kiamat dan corona sebagai simbolitika di dalamnya dipahami oleh umat beragama sebagai momentum untuk kembali menyempurnakan kehidupan duniawi. Juga menjadi pengingat bagi manusia untuk kembali menyeimbangkan aturan hidupnya.

Lantas bagaimana korelasinya dengan peningkatan religiusitas masyarakat?

Sudah saya katakan di awal bahwa masyarakat kita ini merupakan masyarakat yang sangat religius, dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Sedangkan, tipe beragama saat ini ialah menjadikan agama laksana sebuah alat kepentingan. Agama dikontestasikan untuk mencapai tujuan masing-masing individu penganutnya. Agama menjadi dasar argumentasi dalam melihat suatu kondisi yang terjadi—tidak mesti, tapi sering begitu. Saya berbicara atas keimanan umat Muslim, yang mengimani surga, neraka, kiamat dan segala pertanda kejadiannya. Pengaminan corona sebagai suatu simbol dalam dongeng hari akhir mendeterminasi tingkah laku muslim bahwa mereka harus senantiasa kembali mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada akhirnya pandemi ini akan menciptakan perlombaan untuk mencari keselamatan secara teologis.

Orang-orang menjadi semakin agamis, semakin memperkuat doa dan ibadah terhadap Tuhan masing-masing. Salah satu bukti, dapat terlihat dari kutiapan dialog ini: ‘wah corona ki saben dino kok ya akeh men nambah kematian karo kasus e, medeni cah, gek kapan yo rampunge. Ya Allah dunya wes arep kukut iki, tanda-tanda kiamat wes meh cedak. Makane ayo cah podo ngibadah. Bumi ki wes semakin tuo’.  Beberapa tayangan serial agama juga memberikan wacana bahwa kita harus menghadapi corona ini sebagai sebuah ujian dari Tuhan. Bagi umat beragama, tentunya, menganggap bahwa seluruh masyarakat dunia sedang diuji ketahanan imannya melalui penyakit mewabah ini.

Memang, bagi sebagian besar individu beragama, cenderung menganggap wabah ini merupakan teguran dari Sang Maha Pemilik Semesta agar kita sebagai manusia lebih mendekatkan diri pada-Nya dan tidak begitu mementingkan persoalan duniawi saja. Oleh sebab itu, banyak diri mulai berefleksi dan kembali menyembah serta mengagungkan apa yang dipercayainya. Tidak hanya menyoal Muslim, tetapi juga agama dan religi lain. Pada intinya, kerangka pikir religius yang digunakan dalam membaca corona menjadikan individu kembali berjalan seiring dengan kodrati masing-masing. Menyampingkan perihal fungsionalisme, alih-alih mencatut dari sebuah teori evolusionisme menurut Frazer, keadaan pasca-corona dapat saja memaksa kehidupan individu kembali pada tahapan kedua yaitu agama, meredefinisi teori linear menjadi sebuah teori siklis yang berpola.

Mengamini paradigma fungsionalisme, kehidupan layaknya sebuah fungsi organ dalam suatu organisme yang memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu sendiri. Hadirnya corona mampu menjadikan analogi tersebut sebagai suatu kesunyataan. Alih-alih memandang corona sebagai penghancur kehidupan, kita perlu memahami pula kehadirannya sebagai suatu penggagas fungsi laten untuk mewujudkan ‘balancing’ dalam kehidupan masyarakat. Adanya fungsi laten yang di balik sifat destruktif pandemi, agaknya mampu mengajak kita untuk menyusun kerangka pikir bahwa kehadirannya merupakan suatu simbol atau pertanda bagi kemaslahatan hidup umat beragama.

Apabila benar kita meyakini bahwa corona sontak benar menjadi ‘simbol’ atau pertanda dalam sebuah dongeng keagamaan bernama ‘kedatangan hari akhir’, maka secara tidak langsung kita pun menyetujui bahwa kehidupan pasca-corona akan semakin religius. Masyarakat Indonesia yang secara basis kultur kenegaraannya sudah memaksa untuk religius, maka akan semakin meningkat religiusitasnya—yang kali ini benar-benar teruntuk Sang Mahaadil. Akan tetapi, rentetan pernyataan pun membuntutinya. Sebuah pertanyaan apakah hal ini akan membawa kebajikan dalam hidup berbangsa dan bernegara, atau justru tidak akan mampu mengubah kondisi seperti sedia kala? Lantaran individu hanya akan menitikberatkan kehidupan untuk mencari ilham dan bekal kematian. Mereka hanya akan menjalankan hidup dengan kesederhanaan tanpa mengharap hingar bingar kegemerlapan duniawi. Target pencapaian dalam kehidupan dunia pun tak begitu ambisius seperti saat sebelum terjadinya pandemi. Akan tetapi, sebagai buah keimanan, rasa kemanusiaan pun akan muncul kembali dan semakin mengakar kuat dalam kehidupan antarmasyarakat. Saling menjaga, memahami dan menyatu sebagai seberkas entitas yang kuat. But the important lesson we should’ve known and remember that the future is not easy to predict.

There is no return to normal, the new “normal” will have to be constructed on the ruins of our old lives, or we will find ourselves in a new barbarism whose signs are already clearly discernible”—Slavoj Žižek, 2020.
 

Referensi

Ahimsa-Putra, H. S.

2011 Paradigma, Epistemologi dan Etnografi dalam Antropologi. Dalam makalah yang disampaikan dalam sebuah ceramah “Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, diselenggarakan oleh Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangangga di Surbaya, 6-7 Mei 2011.

Cassirer, E.

1945 An Essay on Man. Yale: Yale University Press.

Eisenstadt, S. N.

1990 Functional Analysis in Anthropology and Sociology: An Interpretative Essay. Annual Review of Anthropology 19:243-260.

Kaplan, D., dan Albert A. Maners

1999 Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat

1987 Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mayhew, L. H.

1982 Talcott Parsons on Institutions and Social Evolution. Chicago dan London: The University of Chicago Press.

Radcliffe-Brown, A.R.

1952 Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.

White, L.

1949 The Science of Culture: A Study of Man and Civilization. New York: Farrar, Straus dan Giroux.

Žižek, Slavoj

2020 PANDEMIC! COVID-19 Shakes the World. New York and London: OR Books.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?