Buntut Deklarasi Mala: Munculnya Spesies Anyar Bentukan Corona
Foto tersebut merupakan salah satu instalasi seni Pameran Sepekan Arsitektur 2020 |
Penetapan
Indonesia sebagai darurat corona
agaknya menjadi ancaman permulaan dalam membuka gerbang kesakitan bagi
masyarakat. Corona tak lagi hanya
menyerang kesehatan fisik masyarakat, tetapi lebih kepada kesehatan mental
mereka. Ditetapkannya Indonesia sebagai kawasan darurat corona mengakibatkan muncul banyak penamaan kebijakan pemerintah
yang hanya membuat mumet saja. Mulai
dari lockdown, karantina wilayah, social distancing, physical distancing, PSBB—semua dibentuk sebagai respons terhadap
bencana ini.
Banyaknya
kebijakan yang bergonta-ganti agaknya memperkuat citra ketidakjelasan dan
ketidaktegasan pemerintah dalam menangani si kecil yang menggemakan dunia. Pada
akhirnya, masyarakat lah yang terus menjadi korban keruwetan kebijakan pemerintah.
Masyarakat pun terus dibuat bingung dengan kebijakan-kebijakan yang diinisiasi
oleh pemerintah ini. Bukannya menenangkan, tetapi malah semakin memperparah ke-parno-an masyarakat.
Kebijakan
yang seharusnya mampu mengkawal masyarakat dalam menghadapi pandemi ini justru
menciptakan ketakutan, bingung, sedih dan mumet
karena masyarakat menjadi merasa sangat rentan. Pemberitaan kebijakan yang
dianggap dapat menekan angka penularan ini tidak dibarengi dengan rasa pengayem-ayem untuk masyarakatnya. Tidak
salah jika masyarakat lantas semakin tumbuh menjadi makhluk irrasional akibat
rasa ‘takut’ yang berlebihan. Mereka takut untuk menjadi rentan, karena
kebanyakan masyarakat masih berpikir: ‘kalau
aku terkena corona, aku pasti mati; kalau ada pasien corona di sekitarku, pasti
kawasanku tidak aman dan akhirnya aku juga turut menjadi korban yang justru
akan mempercepat kematianku’.
Kesalahan pemberitaan akan kebijakan yang bergonta-ganti ini justru semakin menciptakan wacana betapa kejamnya virus ini ketika sudah menginfeksi manusia. Padahal, belum tentu yang terinfeksi itu akan mati. Dengan begitu, lantas, corona itu permasalahan apa sih? Apakah cukup kita mengkhawatirkan kesehatan fisik saja, sehingga lalai dalam urusan kejiwaan dan rasa kemanusiaan yang nyatanya mulai sulit ditemukan karena ketakutan mendalam terkait ‘menjadi rentan’ terhadap kematian?
Kemana Si ‘Aman’?
Seperti
yang telah saya sampaikan di awal, berkembangnya virus corona tidak hanya
mengancam kesehatan fisik masyarakat saja, tetapi juga dengan kesehatan
jiwanya. Bagaimana tidak, masyarakat nyatanya terus dirundung oleh ketakutan
yang tak lain muncul dari pemberitaan media. Media bertanggung jawab
penuh atas peredaran berbagai propaganda yang muncul. Schwoch, White, dan
Reilly (1992) mengingatkan kita bahwa suatu rangkaian gambar tertentu—yang
disebarkan oleh media—mampu menghasilkan beragam makna proaktif maupun
kontradiktif. Apabila kita telusur lebih dalam, tujuan presentasi gambar
tersebut tidak hanya sebagai upaya representatif, tetapi juga mengajak kita untuk
berbagi “imajiner sosial” akan ihwal tertentu (Castoriadis, 1987).
Dalam kasus ini, tentunya pemberitaan yang
terkait ‘betapa bahayanya’ corona. Dari apa yang selama ini saya amati, media
cenderung memberitakan rangkaian penggambaran akan kehadiran pandemi ini secara
brutal dan kejam. Mereka terus-menerus memberitakan virus ini dengan
bumbu-bumbu yang sangat menakutkan. Media gagal dalam menciptakan rasa aman
untuk masyarakat—rasa aman menjadi sangat mahal harganya.
Saat ini, rasa aman hanya sebatas ilusi, tidak ada yang dapat menjamin rasa aman masyarakat. Ketika pemerintah tak mampu menciptakan rasa aman, hanya media lah yang kita harapkan. Salah kaprah—kojuurr tenan!—media ternyata sama saja. Bukannya menyeimbangi dengan memberikan ketenangan, media justru memperparah ketakutan publik. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri jika masyarakat semakin nekat dan sembrono dalam bertindak. Rasa kemanusiaan dan sosial masyarakat pun dipertaruhkan sejalan dengan ketakutan yang semakin terdistribusikan secara massif melalui pemberitaan media massa.
Ignorance,
Hanya Itu yang Tersisa
Poin
penting dalam tulisan ini secara singkat dapat diskemakan seperti berikut:
penetapan darurat corona oleh
pemerintah menginisiasi munculnya berbagai penamaan kebijakan—yang tidak tegas
dan jelas—sehingga justru menambah kekalutan masyarakat, ditambah pemberitaan
media yang jauh dari kata tenang, sehingga mengakibatkan hilangnya rasa aman
dan rasionalitas masyarakat. Lantas, setelah seluruh rangkaian premis ini
terjadi, apa yang selanjutnya dihadapai oleh masyarakat? Munculnya spesies
menyerupai manusia, tetapi tidak memiliki akal dan kemanusiaan, yang ada
hanyalah antipati terhadap sesama—itulah jawabannya.
Oke,
mari kita kupas skema berpikir tersebut. Berangkat dari banyaknya kasus
penolakan terhadap pemakaman jenazah yang terinfeksi corona. Tidak hanya satu, kasus ini terjadi di beberapa daerah
Indonesia dengan pola yang sama. Menurut berita yang diterbitkan oleh tirto.id
dan didukung oleh beberapa sumber lain, penolakan pemakaman jenazah terjangkit corona ini tidak hanya sekali
terjadi—setidaknya penolakan pemakaman ini terjadi pada mendiang PDP di
Makassar dan Gowa Sulawesi Selatan; dua jenazah ditolak di Provinsi Lampung;
dan dua lainnya ditolak di Jawa Tengah. Satu
yang paling miris ialah adanya penolakan pemakaman perawat di Semarang yang
meninggal karena terjangkit virus ini.
Bagaimana
bisa perawat, yang saat ini tengah menjadi pahlawan dalam upaya penanganan
pasien corona, justru diperlakukan
dengan sangat tidak manusiawi ketika sudah menemui ajalnya. Berbondong warga
setempat melakukan provokasi untuk menolak pemakaman tersebut. Bersikap
demikian tidak lain karena ketakutan mendalam jika jenazah itu dapat menularkan
virus tersebut. Keadaan ini merupakan salah satu permisalan kesalahan media.
Media kurang dapat menyampaikan sosialisasi ketenangan terhadap masyarakat.
Saya
melihat corona telah merusak keseimbangan jaringan kemanusiaan Indonesia. Saya
menyebutnya sebagai social ignorance—bagaimana
masyarakat secara tidak sadar dituntut untuk melakukan penolakan—hanya karena image tentang rasa takut yang diproduksi
oleh media dan didistribusikan oleh manusia itu sendiri. Sangat tidak wajar dan
tidak manusiawi ketika banyak jenazah terjangkit corona yang ditolak pemakamannya oleh warga sekitar karena takut dapat
membawa virus tersebut. Menyakitkan sekali jika kita melihat banyak
permasalahan sosial, terkhusus rejection dan ignorance, terjadi di bumi ini yang
tidak lain merupakan salah satu wujud kesalahan produksi pemberitaan.
Munculnya
spesies anyar serupa manusia tapi tak
manusiawi tersebut harus kita kontemplasikan bersama. Manusia sejatinya,
berdasarkan KBBI, didefiniskan sebagai makhluk yang berakal budi. Akan tetapi,
di tengah pandemi ini konsep manusia mulai ter-redefinisi. Bagaimana bisa
makhluk tak bermoral dan tak memiliki kemanusiaan tersebut dapat muncul dengan
wajah manusia. Bagaimana masyarakat menjadi sangat tak acuh dengan sesamanya, hingga
dapat bertindak jauh dari kata manusiawi. Apakah itu tetap dapat disebut manusia?
Rasa kepedulian agaknya sudah berubah menjadi ketidakpedulian dan egoistik individu yang kian menyebar. Oleh sebab itu, kita harus mampu menanggapi dengan rasional akan adanya pandemi ini. Meskipun banyak yang mencederai rasa aman kita dan merundungnya dengan ketakutan—media, contohnya—kita harus senantiasa dapat membentengi diri dengan kejernihan pikiran agar rasa kemanusiaan sebagai manusia utuh tidak ikut tercederai. Jangan biarkan kemunculan spesies anyar ini merusak tatanan kesehatan jiwa dan sosial kita sebagai sebenar-benarnya manusia.
Amali, Zakki.
2020 Nestapa Perawat COVID-19: 12 Meninggal, 18 Positif, Jenazah
Ditolak. Internet, https://tirto.id/nestapa-perawat-covid-19-12-meninggal-18-positif-jenazah-ditolak-eMKl, accessed
April 20, 2020, 13.08.
Castoriadis, C.
1987 The imaginary institution of society. Cambridge: MIT Press. In
Todd, Sharon (1998) Veiling the “Other”, Unveiling Our “Selves”: Reading Media
Images of the Hijab Psychoanalytically to Move beyond Tolerance. Canadian
Journal of Education 23(4): 438-451.
Schwoch, J., White, M., & Reilly,
S.
1992 Media knowledge: Readings in popular culture, pedagogy, and
critical citizenship. Albany: SUNY Press. In Todd, Sharon (1998) Veiling the
“Other”, Unveiling Our “Selves”: Reading Media Images of the Hijab
Psychoanalytically to Move beyond Tolerance. Canadian Journal of Education
23(4): 438-451.
Komentar
Posting Komentar