Pagebluk, Orang Tua Diuji: Dualisme Kerja Harga Pas!

Skema tulisan kali ini mungkin sedikit berbeda dari biasanya. Di sini saya mencoba menghadirkan suasana penampilan opini persuasif dengan keringanan bahasa dan pembahasan. Topik kali ini memang sudah lama diperbincangkan, namun harus tetap dipraktikkan agar tak kian jadi masalah (lagi). Walau hanya dengan satu referensi, tapi agaknya topik ini kudu terus digagas.
https://www.solopos.com/solopos-hari-ini-bahaya-intai-anak-di-rumah-1072171


Bertambah hari, kian semakin tinggi. Begitulah yang sedang Indonesia, serta dunia alami saat ini. Masa pagebluk—menurut kamus Jawa—tidak dapat diprediksi kapan tepatnya akan usai. Hal ini tentu membuat seluruh elemen masyarakat risau, namun agaknya sudah menjadi biasa karena telah terbiasa.

Alih-alih mengungkung diri dengan rasa takut, masyarakat kita justru bersikap seolah tak terjadi apa pun. Semua berjalan normal seperti sediakala. Hanya saja, terdapat beberapa kebiasaan baru yang mungkin sedikit lebih ‘sehat’ daripada biasanya. Anjuran memakai masker, mencuci tangan dengan air mengalir beserta sabun, juga penerapan #dirumahsaja kian menjadi rutinitas masyarakat.

Tagar ‘dirumahsaja’ tidak hanya berlaku bagi para pekerja, tetapi juga seluruh pelajar. Mulai dari pendidikan PAUD, taman kanak-kanak, sekolah dasar, menengah, atas, juga tingkat perguruan tinggi, harus dirumahkan—belajar dari rumah. Seluruh aktivitas pembelajaran tatap muka terpaksa harus dilakukan secara daring (dalam jaringan).

Masyarakat dunia—khususnya Indonesia—mau tidak mau dihadapkan oleh era digital. Wong ndeso dipekso modern—kurang lebih ya seperti itu. Keterpaksaan yang tiba-tiba ini tak ubahnya musim pancaroba. Bagaimana tidak, jelas semua terkejut, kegiatan yang tidak biasa dilakukan sebelumnya seolah dipaksa harus menjadi biasa. Dengan begitu, masyarakat dituntut bersifat multifungsi, dualisme pekerjaan menjadi ihwal yang tak lagi mengagetkan. Utamanya bagi para orang tua muda yang masih memiliki anak balita, maupun anak usia sekolah.

Selama kegiatan belajar-mengajar belum terbuka secara luring (luar jaringan), para orang tua harus bersifat multifungsi. Secara tidak langsung, mereka memiliki dua pekerjaan dalam keseharian, bekerja sebagai pengajar di samping melakukan profesinya. Kualitas akan bagaimana menjadi orang tua ideal pun tengah diuji.

Fungsi orang tua sebagai pengawas terhadap tumbuh kembang anak menjadi perihal yang diutamakan. Menjadi dilematis memang, di mana mereka harus dapat membagi waktu untuk pekerjaannya juga tuntutan untuk mendampingi anak dalam kegiatan pembelajaran. Namun, banyak orang pasti terbesit tanya, mengapa kegiatan belajar di rumah bagi anak-anak harus tetap dalam pengawasan orang tua?

Melansir Solopos (23/7), terdapat 18 kasus kekerasan seksual pada anak saat lebih dari 900.000 pelajar Soloraya belajar di rumah. Sebagian besar kasus yang terjadi datang melalui telepon pintar. Smartphone yang seharusnya digunakan untuk menunjang kegiatan belajar, justru bias fungsi menjadi salah satu sarana terjadinya kekerasan seksual. Kasus yang menyumbang angka terbesar ialah sexting dan sextortion. Sexting adalah aktivitas saling mengirim pesan berbau seks. Sedangkan sextortion merupakan sejenis kejahatan siber memanfaatkan konten syur untuk memeras atau mengancam seseorang (Prakoso, 2020).

Ancaman kejahatan terhadap anak ini menjadi sebab bagi para orang tua untuk melakukan dualisme kerja selama masa pagebluk. Terpaksanya pembukaan pintu gerbang digital, barang tentu mengakibatkan sirkulasi informasi jauh lebih cair. Dalam situasi inilah fungsi pengawasan orang tua harus diutamakan. Apabila tidak, anak-anak akan menanggung gahamnya. Bisa jadi bukan sebagai korban, melainkan terjerembab sebagai pelaku. 

Memang, cyber sexual crime—saya menyebutnya—dapat terjadi kepada siapapun, tidak hanya anak-anak. Akan tetapi, usia anak di bawah umur inilah yang menjadi tantangan ‘harga pas’ bagi para orang tuanya. Kejahatan seksual dalam bentuk apapun jika terjadi pada masa kanak-kanak dikhawatirkan akan membekas terhadap kondisi psikis korban. Kemungkinan korban akan mengalami trauma, bahkan fobia terhadap tindak seksual saat mereka dewasa. Seks merupakan hal yang harus dirayakan. Jelas, saya pun mengamini, namun apabila seks ini salah sasaran justru akan membawa rentetan mala terhadap para korbannya.

Berdasar apa yang telah terjadi, saya mengajak kepada seluruh orang tua muda, khususnya yang masih memiliki anak usia sekolah harus melakukan pengawasan dan pengontrolan rutin terhadap kegiatan pembelajaran anak. Dengan mengajak anak melakukan obrolan dua arah, juga membuat kesepakatan atas penggunaan gawai yang didapuk sebagai sarana pembelajaran, dapat menjadi salah satu cara pencegahan cukup efektif.  Tanpa memandang gender, orang tua harus ekstra memerhatikan putra-putrinya agar tidak menjadi korban, bahkan pelaku kejahatan seksual itu sendiri. Kualitas dualisme kerja orang tua harus menjadi concern yang semestinya diacuhkan dalam masa kekacauan ini. Tidak ada bobot yang lebih unggul antara memerhatikan atau mendampingi anak dengan profesi kesehariannya—semua harus seimbang pada porsinya.

 

Referensi:

Prakoso, W. (23 Juli 2020). Bahaya intai anak di rumah. Harian Solopos, hal. 1.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?