Jeritan Timur: dari mereka yang tak pernah didengar

Awal kejatuhan rezim Soeharto telah menjadi titik kulminasi merebaknya konflik kekerasan di seluruh wilayah Indonesia. Serangkaian kerusuhan dan kekerasan komunal berkepanjangan terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan data SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan) di tujuh wilayah (Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua), rentetan kekerasan tersebut telah mengakibatkan 16.113 orang kehilangan nyawa dan ribuan keluarga harus mengungsi (Peranto, 2015). Periode tersebut (1998-2004) merupakan pengalaman kelam dalam catatan sejarah Indonesia.

Maraknya konflik kekerasan merupakan resiko fase awal pemerintahan menuju transisi demokrasi, terlebih ketika para elite terancam oleh perubahan politik (Snyder, 2010). Jacques Bertrand (2010:86) menganggap bahwa periode awal transisi di Indonesia merupakan titik krisis (critical junctures). Menurut (Peranto, 2015) momen perubahan dari rezim otoriter menjadi demokratis sangat rnetan dengan beragam gejolak. Terlebih dengan bangunan institusi demokrasi yang masih rapuh, konflik kekerasan di tengah masyarakat menjadi fenomena yang tidak terelakkan.

Belasan tahun berlalu, kerangka bangunan demokratis di Indonesia ternyata belum mampu memupuk fondasinya. Memasuki periode kedua rezim Jokowi, tidak turut serta mereduksi konflik dan kekerasan di bumi Indonesia. Konflik kekerasan kembali menyeruak dengan tren dan pola yang baru. Selain itu, hasil kajian tim peneliti THC (Peranto, 2015) mencermati adanya perubahan dan pergeseran jenis konflik kekerasan. Salah satu konflik kekerasan yang mendominasi era saat ini ialah terkait isu sumber daya. Pasca reformasi, konflik kekerasan terkait sumber daya menjadi salah satu persoalan krusial di Indonesia. Terlebih persoalan agraria, yang justru semakin mencuat ke permukaan—tapi tetap saja tak terlihat, atau mungkin mungkin sengaja tak dilihat. Bahkan, sampai saat ini menyoal agraria tetap saja menjadi persoalan yang enggan disentuh penyelesaiannya oleh pemerintah. Menjadi sangat ironis, sebab orde reformasi di bawah kepemimpinan Jokowi ini dianggap memiliki komitmen cukup kuat terhadap agenda reforma agraria.

Wilayah yang menjadi salah satu pusat permasalahan terkait lahan dan agraria yang tak pernah usai—mungkin juga tak bakal usai—ialah Papua Barat. Pasalnya, konflik kekerasan di Papua Barat ternyata tak hanya seputar lahan dan agraria saja, melainkan turut mengalirkan permasalahan identitas. Kompleksitas permasalahan di Papua Barat ini menjadi salah satu gambaran betapa Indonesia tetap sarat dengan historis kelamnya akan konflik dan kekerasan (dibaca: telah mandarah daging).

Source: Anadolu Agency

Menjadi Asing di Tanah Tuan

Apa yang biasa kalian dengar tentang Papua Barat? Hutan, pedalaman, tradisional, terbelakang, kekayaan sumber daya alam, diskriminasi, malaria, migrasi, separatis, tidak merdeka, tidak aman atau kelapa sawit? Beberapa kata kunci tersebut selalu muncul saat kita menyoal Papua Barat. Lantas, ada apa sih Papua Barat itu?

Banyak mata memandang Papua Barat sebagai surga bagi Indonesia, pun penduduknya (dibaca: dahulu, mungkin). Beragam biodiversitas yang terkandung berhasil menjadi tonggak kehidupan Papua Barat, bahkan mampu menyumbang angka sumber daya ekonomi tinggi bagi Indonesia. Ketika orang masuk ke tanah Papua Barat, mereka seakan memasuki Kawasan yang tidak pernah dapat mereka bayangkan sebelumnya. Meski demikian, benarkah Papua Barat saat ini juga esok masih menjadi surga? Bagi Indonesia yang mulai memperlihatkan benih neoliberalismenya, juga untuk para pemilik modal, pastilah Papua Barat tetap menjadi layaknya surga. Namun, bagi masyarakat adatnya sendiri bagaimana, benarkah tetap menjadi surga untuk mereka?

Yang dipertuan justru diperbudak di tanah jabatannya sendiri. Pernyataan tersebut sampai saat ini masih sangat relevan dalam menggambar Papua Barat. Masyarakat adat sebagai tuan rumah harus menjadi pihak pertama dalam mendayagunakan tanahnya. Akan tetapi, harapan tersebut hanya sebatas angan, angan yang tak kan pernah tergapai.  Realitasnya, masyarakat adat justru diliyankan oleh para pendatang kurang ajar ini. Penipuan, penyalahgunaan dan penjarahan sudah menjadi hal biasa yang dilayangkan para kapital terhadap masyarakat kita. Hak atas tanah ulayat, hak hidup, bahkan hak asasi diambil secara paksa oleh para kuasa ini.

Analisis spasial menggunakan Global Forest Watch menemukan bahwa 8,2 Mha hutan alam telah mendapatkan izin, baik untuk kelapa sawit, penebangan selektif atau hutan tanaman (Indrawan, dkk., 2019). Provinsi Papua Barat saat ini menargetkan 70% akan dilindungi sebagai hutan alam, namun di lapangan 64% sudah ditetapkan sebagai kawasan budidaya; hanya 32% yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan kawasan konservasi (Suara Papua 2018). Deforestasi di seluruh dua provinsi di Papua dan Papua Barat telah meningkat tajam, dari 10.000 hektar pada tahun 2001 menjadi 97.000 hektar pada tahun 2015 (Chitra, Wijaya, dan Firmansyah 2017).

Kutipan di atas secara tidak langsung mengindikasikan bahwa kelangsungan alam atas atas hidup suku asli Papua Barat sedang terancam. Tanah-tanah adat dirampas begitu saja tanpa adanya realisasi janji para kapitalis ini. Masyarakat kita hanya diiming-imingi tanpa diberi pasti. Lantaran banyaknya penawaran janji menggiurkan, membuat masyarakat adat yang notabene masih rendah dalam pendidikan dan pengetahuan taken for granted atas perjanjian tersebut. Tahun demi tahun berlalu, nyatanya tak ada janji yang ditepati. Tak pernah ada rekonsiliasi di antara mereka, tiap kali masyarakat adat meminta, tiap kali juga mereka ditolak.

Kembali menyoal penguasaan tanah secara sepihak, kita tidak dapat hanya melihat dari dua patisipan saja—kapitalis dan masyarakat adat—tetapi kita harus memperluas horizon atas siapa yang juga berperan penting di balik layar. Ialah pemerintah. Pemerintah sebagai pihak ketiga sangat perlu untuk disoroti. Peran pemerintah yang diekspektasikan sebagai mediator juga fasilitator ternyata kehilangan bijaksananya. Mudahnya perizinan yang dilayangkan untuk para pemodal asing menggambarkan keterlibatan permainan politik di antara elit pemerintah. Tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga antek pemerintah daerah otonom. Disparitas orientasi hajat antara pemerintah dan masyarakat adat menyumbang tingkat pengabaian yang cukup tinggi. Pemerintah kita saat ini lebih berorientasi pada peningkatan ekonomi negara dengan mempertegas praktik neoliberalismenya—mempermudah prosedur birokrasi perizinan pemanfaatan lahan adat kepada investor asing. Fungsi pemerintah sebagai pihak ketiga di sini dapat dikatakan sangat tidak terlihat. Pemerintah tidak turut memberikan pendampingan kepada masyarakat adat—sebagai kelompok rentan—melainkan hanya manggut-manggut di bawah kaki investor.

Tak Ada Sejahtera Dalam Kamus Papua Barat

Kesakitan Papua Barat atas konflik kekerasan dalam berbagai sektor kehidupannya berhasil mengaburkan satu kosa kata dalam kamus kebahasaannya—sejahtera. Sebagian besar penduduk Papua Barat—terlebih mereka yang tak memiliki kuasa—agaknya sukar menerima kata tersebut. Sebuah kata yang sulit dan sedikit mustahil untuk dimanifestasikan. Konflik kekerasan menyoal lahan dan identitas yang entah kapan dapat dirampungkan oleh para petinggi Indonesia terus menjadi penghapus kata ‘sejahtera’ dalam kamus Papua Barat.

Rakyat Papua telah berada dalam lingkar penindasan dan kekerasan selama 32 tahun ditambah dengan Orde Lama yang dengan jelas mengurungnya dalam tekanan. Kemunculan era demokratisasi diharapkan mampu menjadi momentum bagi rakyat Papua untuk mengangkat suara dan aspirasinya ke permukaan. Akan tetapi, pemerintah justru membungkusnya secara sempurna, hingga kemudian memberikan Otsus Papua tahun 2001 (Wonda, 2009). Selain Otsus Papua, keinginan Pemerintah Indonesia di Jakarta untuk melakukan “demam pemekaran” di Tanah Papua terlihat jelas (Suryawan, 2020). Kedua kebijakan ini menggunakan wacana kesejahteraan sebagai landasannya. Namun, sangat perlu diperhatikan bagaimana kebijakan ini dijalankan, apakah benar-benar membawa dampak kesejahteraan, atau justru sebagai tembok pemisah yang menjauhkan ‘kesejahteraan’ tersebut?

Menurut Suryawan (2020), proses Otsus dan pemekaran Papua mencita-citakan otonomi lebih besar bagi komunitas-komunitas Papua dan institusinya. Gagasan lain dari pemekaran tersebut ialah memudahkan dan memperpendek rentang kendali pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan peningkatan pelayanan dan pembinaan kemasyarakatan dan yang utama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (Hommers, 2003:18). Salah satu hal yang tak kalah penting adalah Otsus turut melibatkan dana-dana khusus yang menguntungkan komunitas-komunitas pedesaan untuk jangka waktu 20 tahun (Sumule, 2003; Timmer 2007: 605). Namun, pelaksanaan Otsus dan pemekaran di Papua pasca reformasi justru sangat kental dengan nyansa membelokkan tujuan gerakan-gerakan Pembebasan Papua Merdeka (Suryawan, 2020).

Sumber ketidaksejahteraan masyarakat Papua Barat tidak hanya berasal dari pihak eksternal, seperti pengusaha asing dan juga pemerintah pusat saja, melainkan juga bersumber dari para elite internal mereka sendiri. Maraknya tipu muslihat yang beredar semakin mengeratkan tali kepedihan di Tanah Papua Barat. Suryawan (2020) memaparkan bahwa cerita-cerita kekalahan dan ketersingkiran mereka seolah menunjukkan bahwa mimpi tentang perubahan sosial budaya tidak semudah yang dibayangkan. Perusahaan investasi global masuk ke tanah ulayat mereka bergandengan tangan dengan aparat keamanan dan pejabat pemerintah. Hutan sagu disulap menjadi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan kayu mendatangkan alat-alat berat untuk merampas kayu-kayu yang tumbuh subur di hutan. Ketika perusahaan sawit mulai lesu berujung bangkrut, mereka telah kehilangan tanah. Penetrasi global secara halus maupun kasar telah mengubah hidup masyarakat Papua Barat secara nyata.

Slogan ‘merdekaaa…! Merdekaaa…!’ selalu disuarakan lantaran anggapan kesejahteraan Papua Barat dirampas oleh negaranya sendiri. Webb-Gannon (2014: 354), mengamini bahwa negara Indonesia telah merampas hak sipil, politik, ekonomi, budaya dan sosial rakyat Papua selama 50 tahun pemerintahannya di wilayah Papua Barat. Singkatnya begini, the expropriation of land and resources, forced relocation of indigenous communities, racial and ethnic discrimination ... physical assault and torture, sexual violence and extrajudicial killings (Kirsch, 2002: 53). Dari sini saya harap kita dapat lebih membuka mata dan telinga terhadap segala problematika kesejahteraan di tanah Papua Barat yang tak pernah selesai—bersama negara sebagai sumber deritanya. Atas ungkapan separatis tersebut, apa yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggapinya? Berapa lama lagi alam Papua Barat dapat bertahan? Harus menunggu berapa lama lagi agar masyarakat adat Papua Barat ini dapat sejahtera dan merdeka di atas tanahnya sendiri? Pertanyaan yang sukar dan mungkin saja tidak ada jawabannya.

 

Referensi

Bertrand, Jacques

2004 Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Chitra, J., A. Wijaya, & R. Firmansyah

2017 “Balancing Development and Forest Protection in Papua.” WRI Insight. www.wri.org/blog/2017/10/balancing-development-and-forest-protection-papua

Hommers, Paulus L.

2003 Kontroversi dalam Kasus Pemekaran Provinsi di Papua. Jurnal Ilmu Sosial 1(3).

Kirsch, Stuart

2002 Rumour and Other Narratives of Political Violence in West Papua. Critique of Anthropology 22(1):53-79. http://dx.doi.org/10.1177/0308275X02022001

Marshall, A. J., & B. M. Beehler

2007 The Ecology of Papua, Parts One and Two. The Ecology of Indonesia Series 6.

Mochamad Indrawan, dkk.

2019 A time for locally driven development in Papua and West Papua. Development in Practice (29)6: 817-823.

Peranto, S.

2015 Dinamika Konflik Kekerasan Pasca-Orde Baru. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 20.

Snyder, Jack

2000 From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict. New York, London: W.W. Norton & Company.

Suara Papua

2018 “Perdasus Provinsi Berkelanjutan Landasan Pembangunan Papua Barat.” [Special Autonomous Regulation for Sustainable Province Fundamental to Development of West Papua] (in Bahasa Indonesia).” Suara Papua, October 10.

Sumule, Agus

2003 Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek. Manokwari: Yayasan Topang.

Suryawan, I Ngurah

2020 Siasat Elite Mencuri Kuasa. Yogyakarta: Basabasi.

Timmer, Jaap

2007 Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elite di Papua. Dalam Politik Lokal di Indonesia. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds.), Pp.595-625. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Webb-Gannon, Camellia

2014 Merdeka in West Papua: Peace, Justice and Political Independence.  Anthropologica 56(2): 353-367.

Wonda, Sendius

2009 Jeritan Bangsa. Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan. Yogyakarta: Galangpress. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hijab Tak Sekadar Perintah: Kontestasi Agama yang Terpolitisasi

Menjadi Pinggiran, Menemukan Rumah Baru: Studi Kasus Waria Migran di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Membaca Indonesia Esok Hari: Mampukah kita menyambut wacana?