Di Balik Revitalisasi dan Konfigurasi Pasar Rakyat: Politisasi Identitas Kolektif Daerah (Studi Kasus Pasar Ir. Soekarno Sukoharjo)
Pasar tradisional atau pasar rakyat acap dicirikan dengan
kesan kumuh, kotor, tidak teratur dan murah pastinya. Representasi bertemakan ‘slum
area’ ini lah yang menjadi lokus pemerintah dalam melakukan daya upaya
pengembangan dan pembangunannya. Dengan menjadikan kenyamanan sebagai siasat,
revitalisasi pasar tradisional ini turut mewajahi tujuan-tujuan politis para
elit melalui implementasi keberhasilan pembentukan rupa suatu daerah. Berkedok
tujuan baik bagi kenyamanan penduduk daerah setempat serta kemakmuran para
pedagang, revitalisasi pasar ini justru menciptakan sebuah gap juga
berbagai konflik lain yang lebih politis. Konflik politik datang dari perbedaan
tujuan dan pemaknaan revitalisasi antara pemerintah dan masyarakat (termasuk
penduduk dan pedagang setempat). Bahkan, politisasi ini menyebabkan tumbuhnya
identitas baru pasar tradisional yang mau tidak mau memaksa masyarakat untuk
turut mengamininya.
Teras depan Ir. Soekarno. Foto: Puryono
Wacana Politis Revitalisasi Pasar
Penataan ulang dan pembangunan kembali pasar rakyat
merupakan agenda desentralisasi yang dimaksudkan untuk mencapai wacana
kenyamanan dan kesejahteraan daerah. Ini merupakan salah satu bentuk reformasi
negara dengan mengalihkan tanggung jawab atas elemen-elemen kebijakan sosial
yang dicirikan sebagai prioritas nasional kepada pemerintah daerah atau sektor swasta
dengan meletakkan dasar untuk revitalisasi perkotaan dalam wujud neoliberal
(Rosa, 2018). Kebijakan revitalisasi ini--dalam kasus pasar tradisional--dapat
mengartikulasikan ulang identitas kolektif daerah bersangkutan.
Pemilihan diksi ‘revitalisasi’ perkotaan menyasar pada
lingkungan atau kawasan yang dianggap membutuhkan ‘kehidupan baru’ (Rosa,
2018). Masih menurut Rosa, Istilah ini menjadi umum di abad kedua puluh satu
untuk meregenerasi lingkungan perkotaan dan menjadi bagian dari sejarah panjang
pembersihan kawasan kumuh, pembaruan perkotaan, rehabilitasi, pembangunan
kembali dan gentrifikasi. Konsep inilah yang tercermin dalam kasus konfigurasi
ulang dan pembangunan Pasar Kota Sukoharjo (yang sekarang menjadi Pasar Ir.
Soekarno).
Secara umum, program desentral revitalisasi pasar rakyat ini
merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
yang mengamanatkan bahwa pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah
melakukan pembangunan, pemberdayaan dan peningkatan kualitas pengelolaan pasar
rakyat. Adapun tujuan diadakannya tidak lain untuk mendorong percepatan
modernisasi pasar rakyat agar mampu bersaing dengan pusat perbelanjaan modern,
meningkatkan pelayanan dan akses yang lebih baik kepada masyarakat konsumen dan
mewujudkan pasar rakyat yang bermanajemen modern, lebih bersih, sehat, aman,
segar dan nyaman, sehingga dapat menjadi tujuan tetap belanja konsumen.
Prinsipnya, revitalisasi ini bukan hanya sampai pada tataran perbaikan fisik
saja, melainkan juga dari sisi ekonomi, sosial budaya dan manajemennya.
Kendati demikian, revitalisasi Pasar Kota Sukoharjo ini
banyak ditunggangi maksud-maksud politis dari berbagai elit politik daerah.
Pasar rakyat yang merupakan infrastruktur urban menjadi peluang potensial untuk
membentuk citra diri kepemimpinan daerah Sukoharjo. Pembangunan ini juga
termasuk dalam rangkaian abangisasi infrastruktur daerah Kabupaten Sukoharjo
sejak kepemimpinan bupati masa jabatan 2010, bahkan hingga tahun ini (dibaca:
politik dinasti).
Abangisasi merupakan padanan kata yang terdiri dari ‘abang’
(Jawa: merah) dan -isasi (merujuk pada proses). Jadi, secara singkat abangisasi
adalah proses memerahkan daerah. Kata merah di sini merupakan metafora dari
identitas warna partai politik nasional, yaitu PDI-P. Diketahui, dalam tatanan
legislatif sejak Pemilu 1999 hingga 2019 PDI-P selalu menang dalam level
Kabupaten Sukoharjo. Bupati terpilih dalam Pilkada tahun 2010 pun juga berasal
dari partai yang sama, ia bahkan menjabat selama dua kali periode dan kursi
kepemimpinannya diteruskan oleh sang istri. Kemenangan beruntun dari pemilu ke
pemilu ini berhasil menempatkan politisi PDI-P menempati jabatan-jabatan
strategis dalam tatanan DPRD Kabupaten Sukoharjo, sehingga dengan mudah
berafiliasi untuk meng-abang-kan Sukoharjo melalui wujud
infrastrukturnya.
Proses abangisasi tergambar jelas dalam hasil jadi
revitalisasi Pasar Kota Sukoharjo yang dimulai pada tahun 2012. Di samping
bangunannya yang jelas tergambar lebih modern dan tertata, corak warna yang
mendominasi arsitektur ini adalah warna merah. Kemudian, nama Pasar Kota
Sukoharjo pun berubah menjadi Pasar Ir. Soekarno. Lebih jauh lagi, abangisasi
dan penamaan Ir. Soekarno ini juga terjadi di infrastruktur lain, seperti RSUD,
nama jalan provinsi, serta pembangunan patung tokoh pendiri bangsa tersebut di
titik pertemuan wilayah kota. Di sini tergambar jelas bahwa revitalisasi pasar
rakyat tersebut mengacu pada tirani kepemimpinan yang sedang berjalan.
Proses abangisasi juga tercermin dalam sektor seragam
pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang didominasi warna
merah, hingga baju tukang parkir pun diseragamkan menjadi merah. Penggunaan
identitas tersebut kemudian menjadi citra mental daerah yang berindikasi pada
penggunaan simbol politik sebagai bentuk aktualisasi kekuasaan dan komunikasi
politik. Hal itu berdampak pada pergeseran dan pembentukan identitas kolektif
baru Kabupaten Sukoharjo, dari yang semula marak dikenal Kota Jamu menjadi Kota
Soekarno.
Pasar Kota Sukoharjo. Foto: Masterpiece Komputer |
Patung Ir. Soekarno di dalam RSUD Sukoharjo. Foto: Humas Jateng |
Iringan Konflik dari Beragam Aktor
Selama proses revitalisasi Pasar Kota Sukoharjo ini tidak
berjalan mulus. Banyak terjadi polemik yang tidak hanya melibatkan pedagang
saja, tetapi juga masyarakat setempat, pemerintah dan pihak swasta yang menjadi
kontraktornya. Proses pembangunan pasar yang dimulai sejak tahun 2012, baru
dapat diselesaikan seratus persen di akhir tahun 2014 dan mulai ditempati lagi
pada awal tahun 2015. Padahal, pemerintah menjanjikan pembangunan selesai di
akhir 2012. Estimasi waktu tersebut sangat menyimpang jauh, tak ayal bila
menyebabkan pedagang dan masyarakat geram. Selama proses pembangunan ini
transaksi pasar dipindahkan pada lahan kosong milik pemerintah yang disebut
dengan pasar darurat.
Banyak rumor beredar bahwa keterlambatan tersebut
dikarenakan intensitas praktik korupsi dan pencucian uang selama pembangunan
pasar berlangsung. Selama proses panjang pembangunan tersebut dan dikaitkan
dengan rumor yang beredar, bangunan pasar setengah jadi pun sempat
terbengkalai. Ini semakin menyulut emosi pedagang dan masyarakat setempat.
Adapun bentuk perlawanan yang pernah diambil ialah pengadaan long march dari
pasar hingga depan kantor bupati yang berjarak sekitar 2 km. Akan tetapi, aksi
ini tidak mendapat tanggapan dari pihak pemerintah, mereka memilih untuk
bungkam dan menutup telinga. Para pedagang yang mayoritas merupakan ‘wong cilik’
dan juga masyarakat akuasa hanya dapat menggigit jari sembari mengkompromikan
harapannya, menunggu pun menjadi pilihan paksa.
Setelah melalui pembacaan berbagai media berita, diketahui
bahwa konflik revitalisasi pasar rakyat Sukoharjo ini menjadi berlarut dan
belum terselesaikan hingga saat ini. Kali ini bukan 4 terjadi antara pemerintah
dengan pedagang, namun pemerintah dengan pihak swasta yang menjadi kontraktor
proyek revitalisasi ini. Saling tuduh dan menuntut terjadi antara Pemerintah
Kabupaten dengan PT Ampuh Sejahtera.
Proyek infrastruktur Pasar Ir. Soekarno dimulai dengan
peletakan batu pertama oleh Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya pada 8 Juni 2012.
Untuk tahap pertama pembangunan, Pemkab mengalokasikan anggaran Rp24,8 miliar.
Namun, PT Ampuh Sejahtera selaku pemenang lelang proyek tahap I itu tidak
berhasil menyelesaikan pembangunan hingga seratus persen. Atas hal itu, Pemkab
hanya membayar pihak kontraktor senilai proyek yang sudah digarap, yakni tujuh
puluh lima persen atau senilai Rp18 miliar. Inilah yang menjadi pangkal
permasalahan yang berujung saling gugat secara hukum di pengadilan dan belum
selesai hingga kini.
PT Ampuh selaku penggugat menagih pembayaran uang kepada
tergugat, Pemkab Sukoharjo, senilai Rp6,2 miliar ditambah dengan bunga enam
persen per tahun mulai 2013 hingga lunas. Alih-alih membayar, Pembak Sukoharjo
justru meminta manajemen PT Ampuh Sejahtera untuk konsisten membayar denda
sesuai LPH BPK Perwakilan Jawa Tengah lantaran terdapat beberapa pelanggaran.
Pelanggaran itu antara lain proses perhitungan volume pekerjaan dilakukan tidak
bersama-sama antara pihak perencana pelaksana, konsultan pengawas dan PPK. Di
samping itu, kontraktor juga tidak dapat merampungkan pekerjaan pembangunan
Pasar Ir. Soekarno sampai batas waktu ditentukan.
Konflik berkepanjangan ini sudah terjadi sejak tahun 2013.
Hasil persidangan hingga keputusan MA dimenangkan oleh PT Ampuh Sejahtera
selaku kontraktor pasar. Dalam putusannya, Pemkab Sukoharjo wajib membayar
sebesar Rp6.214.750 ditambah bunga per tahunnya, hingga September 2020
terhitung sebesar Rp9 miliar. Dilihat dari segi akomodasi hingga saat ini,
konflik antara pemerintah dan pihak swasta ini belum menemui jalan tengah.
Pembangunan Pasar Ir. Soekarno. Foto: Rudianto |
Kesimpulan: Politik Infrastruktur Urban
Setiap jabatan kepemimpinan suatu daerah pasti memiliki
corak atau gaya pembangunannya masing-masin. Infrastruktur urban pun menjadi manifestasi
paling kentara untuk melihat hal ini. Dalam kasus revitalisasi pasar ini, masa
kepemimpinan bupati dan persebaran partai politik pun menjadi politisasi
permainan peran dalam proses revitalisasi. Praktik-praktik politik itulah yang
mengakibatkan muncul dan bergesernya identitas kolektif baru masyarakat daerah
setempat, yang di kemudian hari dapat menjadi bibit konflik daerah berbasis
politik. Pasar sebagai salah satu infrastruktur urban tidak lagi menjadi ruang
transaksi publik, melainkan telah bergeser melalui privatisasi elit yang
bernilai politik. Modernisasi pasar dengan proses revitalisasi ini
mengakibatkan konflik berkepanjangan yang akhirnya menciptakan identitas
kolektif baru suatu daerah.
Referensi
Mbr/try
2014 Ratusan
Pedagang Demo Mangkraknya Pembangunan Pasar Sukoharjo. Dalam DetikNews,
diakses pada 29 April 2021.
Nurhanisah, Y.
2020 Revitalisasi
Pasar Rakyat Capai 4.211 Pasar. Dalam Indonesiabaik.id, diakses pada 28
April 2021.
Redaksi
2020 Kasus
Pasar Ir Soekarno, Pemkab Sukoharjo Seharusnya Taat Hukum. Dalam
Suarabaru.id, diakses pada 28 April 2021.
Rosa, V.
2018 Social
Citizenship and Urban Revitalization in Canada. Canadian Journal of Urban
Research 27(2): 25-36.
Suharsih
2021 Jejak
Proyek Infrastruktur Sukoharjo Era Wardoyo: Pasar Ir Soekarno Hingga Menara
Wijaya. Dalam Solopos.com, diakses pada 29 April 2021.
Wicaksono, R. B. E.
2020 PT Ampuh
Sejahtera Kembali Tagih Uang Proyek Pasar Ir Soekarno ke Pemkab Sukoharjo.
Dalam Solopos.com, diakses pada 29 April 2021.
Komentar
Posting Komentar